Selasa, 08 Juni 2010

LEPTOSPIROSIS

PENDAHULUAN

Leptospirosis merupakan penyakit demam akut dengan manifestasi klinis bervariasi, disebabkan oleh Leptospira. Leptospirosis hingga kini masih merupakan masalah kesehatan global terutama di Negara tropis seperti Indonesia.
Leptospirosis termasuk emerging infectious diseases dan akhir-akhir ini sering terjadi outbreaks di Nicaragua, Brasil, India, negara-negara Asia Tenggara juga Amerika. Masalah yang berkembang sehubungan dengan penyakit ini adalah diagnosisnya sering terlambat serta progresivitas penyakit yang sepenuhnya belum diketahui.
Berbagai faktor yang ikut menentukan progresivitas leptospirosis adalah: Faktor eksternal antara lain virulensi Leptospira, sedangkan factor internal adalah: status imun penderita. Faktor yang ikut menentukan progresivitas leptospirosis antara lain: hemolisin, lipopolisakarida, glikoprotein, lipoprotein, peptidoglikan, heat shock proteins, dan flagellin. Gen hemolisin SphH dari L. interigans strain HY-1 juga ikut berperan dalam pengendalian progresivitas leptospirosis. Leptospira yang mengalami lisis akibat aktivitas immunoglobulin maupun komplemen dapat menginduksi sekresi enzim, toksin, dan sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, TNFα) yang kemudian ikut menentukan derajat berat manifestasi klinis (Sachro, 2002).
Manifestasi klinis leptospirosis dapat anikterik maupun ikterik. Pada bentuk ikterik sering berat dan melibatkan hamper semua organ termasuk otak, liver dan ginjal Untuk itu perlu adanya upaya penajaman diagnosis dan langkah-langkah intervensi terapi guna menghambat laju progresivitas leptospirosis. Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang dapat mengenai semua umur serta jenis kelamin.
Penyakit ini dapat berjangkit pada berbagai musim. Leptospirosis merupakan occupational diseases, pekerjaan sebagai petani paling sering mengalami infeksi. Individu yang bekerja sebagai pembersih selokan, pekerja tambang, pekerja bangunan, pengolah makanan (daging, unggas dan ikan), industri makanan serta tempat-tempat basah dan lembab dimana tinggal binatang-binatang pengerat, sangat erat kaitannya dengan kejadian leptospirosis. Leptospira interrogans serovar ikterohemoragika pertama kali diisolasidari pasien dengan penyakit Weil’s di Jepang oleh Inada dan Ido tahun 1915.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama serovar lain hebdomadis, autumnalis, australis, pyrogenes, bataviae, dan leptospora borgpetersenii juga dapat menyebabkan leptospirosis berat. Selain menemukan mikroorganisme penyebab, Inada, Iko, Kaneko, Hoki dan Ito dalam tahun 1914-1915 juga menemukan medium biakan, sumber infeksi, gambaran klinis, gambaran laboratorium, patologi serta patofisiologi, diagnosis, therapy dan profilaksis leptospirosis. Pada perkembangan berikutnya ditemukan berbagai serovar sehingga kini lebih dari 200 serovar ditemukan di berbagai belahan dunia.

MIKROBIOLOGI DAN BIOLOGI MOLEKULER

Leptospires merupakan spirochaeta genus Leptospira, yang terdiri atas dua spesies: Leptospira interrogans dan Leptospira biflexa. Leptospira pathogen terdiri atas 200 serotipe yang memiliki antigen utama dan terbagi dalam 23 serogrup, sebagian besar telah diidentifikasi serta terdapat di Indonesia.
Leptospira merupakan spirochaeta yang motil, dengan ukuran lebar 0,1 µm, panjang 6-20 µm, serat memiliki hooked pada akhir tubuhnya. Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang tersebar luas terutama di Negara-negara tropis. Binatang mengerat (tikus, musang, tupai) dan binatang piaraan (lembu, kerbau, babi anjing, kucing, ikan dan burung) merupakan reservoir yang penting. Leptospira dapat hidup pada tubulus renalis binatang tersebut dalam kurun waktu cukup lama.
Binatang yang terpapar Leptospira, meskipun asimptomatis, tetapi mengandung lebih dari 1010 organisme/gram didalam gimjalnya. Transmisi terjadi melalui kontak langsung (urine, darah, jaringan) yang terpapar Leptospira, maupun tidak langsung (air, tanah, lumpur) yang tercemar Leptospira. Para petani, peketja selokan, pekerja lading, pekerja tambang dan pekerja lain yang selalu kontak dengan urine maupun jaringan binatang seperti dokter hewan, pekerja laboratorium, penjagal di rumah potong, termasuk beresiko tinggi untuk dapat terinfeksi Leptospira.
Penularan langsung antara individu jarang terjadi, kalau terjadi dapat karena kontak dengan urine individu yang pernah terinfeksi pada stadium penyembuhan, karena Leptospira menetap di tubulus ginjal dan menimbulkan infeksi kronis. Berbagai faktor yang ikut menentukan progresivitas sehingga menyebabkan kegawatan akibat leptospirosis antara lain: hemolisin, lipopolisakarida, glikoprotei, lipoprotein, heat shock protein dan flagellin. Gen hemolisin SphH dari L.interogans strain HY-1, ikut berperan dalam pengendalian progresivitas leptospirosis. Leptospira yang mengalami lisis akibat aktifitas immunoglobulin maupun komplemen dapat meninduksi sekresi enzim, toksin dan sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, TNFα) yang kemudian ikut menentukan derajat beratnya manifestasi klinis serta mendorong timbulnya penyakit Wel’s.
Genom Leptospira mempunyai panjang kira-kira 5.000 kb (kilobase), urutan genom perlu dikenal guna mengisolasi serotype, mengkode protein dan lain-lain. Genom tersebut tersusun atas 2 type kromosom, masing-masing 4.400 kb dan 350 kb, dari serovars pemona subtype newicki dan ikterohemoragiae. Leptospira mengandung 2 set 16S dan 23S rRNA. Akhir-akhir ini pengetahuan tentang Leptospira di tingkat molekuler berkembang pesat sejak dikembangkan penggunaan bacteriophage LE1 dan L.biflexa.
Berbagai komponen berhasil diidentifikasi termasuk urut-urutan (tranposases) insertion sequences (IS) coding. IS1533 memiliki rangkaian tunggal, sementara IS1500 memiliki 4 rangkaian. Baik IS1500 dan IS1533 ditemukan pada berbagai serovar. Sejumlah gen Leptospira telah berhasil diidentifikasi dan dianalisis, termasuk sintesis: beberapa asam amino, rRNA, protein-protein ribosom, polymerase RNA, DNA repair, heat shock proteins, spingomielinase, hemolisin, protein membrane luar (outer membrane proteins), protein flagellar, dan lipopolisakarida (LPS).
Pada serovar ikterohemoragiae, genom dapat diperkenalkan minimal satu serovar baru dengan identifikasi secara pulsed-field gel electrophoresis (PFGE). Meskipun demikian belakangan ini diketahui munculnya serovar yang heterogen, untuk itu masih diperlukanpenelitian lebih lanjut dengan menggunakan berbagai isolate pada masing-masing serovar (Levett, 2001). Membran luar Leptospirosis mengandung LPS dan beberapa protein (outer membrane proteins {OMPs}). LPS memiliki sifat imunogenik tinggi dan menentukan spesifitas serovar.

PATOFISIOLOGI

Transmisi Leptospira terjadi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan air, tanah, tanaman yang terpapar urine binatang mengerat yang mengandung Leptospira. Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melaui kulit yang tidak intak maupun mukosa mulut, saluran cerna, saluran hidung dan konjungtiva mata selanjutnya mengikuti aliran darah sistemik, terjadi replikasi serta menyebar ke berbagai jaringan dan organ tubuh.
Ekstraseluler Leptospira banyak ditemukan pada berbagai jaringan dan organ, sedangkan intraseluler ditemukan didalam sel fagosit dan epitel. Organ yang paling banyak terdapat akumulasi Leptospira adalah liver, kemudian berikutnya kelenjar adrenal, ginjal. Di ginjal, Leptospira berada didalam jaringan interstisial, juga pada dinding serta lumen tubulus urine iferous. Sedang organ paling sedikit terdapat Leptospira adalah limpa, sumsum tulang, kelenjar limfe.
Dengan adanya respon imun oleh tubuh, maka Leptospira dalam sirkulasi dapat dieliminasi sehingga jumlahnya menurun. Mekanisme patologis pada leptospirosis dapat terjadi akibat efek toksik langsung dari Leptospira, maupun tidak langsung melalui kompleks imun.
Manifestasi klinis dapat berupa leptospirosis anikterik maupun ikterik, yang keduanya berlangsung melalui fase leptospiremia atau fase septik dan fase imun. Pada fase leptospiremia atau fase septic, disini keadaan patologis lebih diakibatkan oleh efek toksik langsung dari Leptospira.
Leptospira memiliki struktur kimia dan biologi yang mirip dengan bakteri Gram-negatif. Meskipun demikian efek tidak langsung melalui respon imun tidak bisa dipisahkan dengan efek toksik langsung tersebut. Efek toksik langsung tersebut berdampak pada berbagai tipe sel sehingga dikenal adanya neurotoksin, leukotoksin, hepatotoksin, kardiotoksin. Efek toksik tersebut dimungkinkan karena pada dinding selnya lipopolisakarida (endotoksin) yang merupakan bagian integral dari membrane luar (outer membrane).
Pada permukaan membrane luar terdapat komponen lipid A, serta antigen O. Lipid A merupakan bagian yang mempunyai efek toksik terhadap sel atau molekul. Efek toksik langsung tersebut terjadi bila membran mengalami lisis oleh berbagai faktor, termasuk akibat aktivitas komplemen, fagositosis maupun dampak dari pemberian antibiotika. Lipid A yang toksik tersebut dapat mengekspresi berbagai sel host untuk memproduksi protein bioaktif termasuk sitokin. Sitokin merupakan salah satu dari sinyal molekuler yang ikut berperan pada respon imun terhadap lipoprotein pada membran luar. Leptospira yang berperan seperti halnya LPS yaitu menginduksi sekresi sitokin-sitokin (cytokine release) berikutnya.
Peptidoglikan dari dinding sel Leptospira interrogans dapat menginduksi sekresi TNF-α dari monosit yang berdampak luas terhadap timbulnya respon inflamasi lokal maupun sistemik, pada setiap organ terjadi vaskulitis yang menyeluruh. Interaksi lipoprotein, LPS dari membran luar Leptospira dengan sel-sel imun host dapat menimbulkan 3 peristiwa penting yaitu:
  1. Pertama: Produksi sitokin oleh monosit, makrofag, serta sel-sel lain. Adapun sitokin yang diproduksi adalah IL-1, IL-6, IL-8, TNFα. IL-1 diproduksi makrofag, limfosit, sel-sel endotel, dan keratinosit. Dampak dari IL-1 dapat memicu produksi prostaglandin dari hipothalamus yang menyebabkan demam serta menstimulasi reseptor nyeri. Demam merupakan manifestasi karena dilampauinya set-point suhu di hipothalamus. Dengan peningkatan set-point tersebut, hipothalamus mengirim sinyal untuk meningkatkan suhu tubuh. Respon tubuh adalah menggigil dan meningkatnya metabolisme basal. IL-1 juga menginduksi serta mempengaruhi sekresi leukotrien yang berdampak terhadap permeabilitas vaskuler dan berpotensi besar dalam penurunan tekanan darah sistemik. Selain itu IL-1 juga memiliki kontribusi pada beberapa hal seperti anoreksia, meningkatnya aktifitas PMN, peningkatan kadar transferin. IL-6 diproduksi makrofag dan fibroblas akibat induksi IL-1. IL-8 diproduksi makrofag, limfosit, sel-sel endotel setelah diinduksiIL-1 dan TNFα. IL-8 berperan menstimulasi migrasi dan granulasi PMN, serta ikut memicu kerusakan endotel. TNFα diproduksi makrofag, limfosit dan sel mast. Peran TNFα adalah ikut serta dalam turun-naiknya suhu tubuh, wasting, meningkatnya frekuensi pernafasan dan frekuensi denyut jantung, hipotensi dan timbulnya perdarahan pada berbagai organ.
  2. Peristiwa Kedua: adalah aktivasi komplemen. Meningkatnya aktifitas komplemen selama leptospirosis terutama C3a dan C5a juga merusak endotel. Peran C5a adalah menginduksi dan ekskresi enzim lisosom yang merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran. IL-6, IL-8, YNFα, prostaglandin, serta leukotrien semuanya mempunyai potensi memicu kerusakan endotel sel sehingga memprovokasi terjadinya gangguan funsi endotel, termasuk keikut sertaan dalam proses relaksasi dan konstriksi vaskuler (Sayers, 1994; Scott, 2002). Akibat efek simultan dari sikotin dan komplemen tersebut menyebabkan terganggunya sirkulasi darah terutama yang melalui pembuluh darah kecil ke berbagai organ tubuh termasuk paru, ginjal, hati dan otak. Situasi tersebut merupakan manifestasi dari perubahan vaskuler selama peradangan yang dimulai segera setelah paparan Leptospira. Arteriol, pada awalnya mengalami vasokonstriksi dalam waktu singkat, kemudian disusul terjadinya vasodilatasi berkepanjangan yang meningkatkan tekanan cairan dalam kapiler-kapiler di sebelah hilir sehingga terjadi peningkatan perpindahan filtrat plasma ke dalam ruangan interstisial. Histamin, bradikinin merupakan mediator kimia yang di sekresi selama fase leptospiremia menyebabkan endotel kapiler menjadi renggang sehingga permeabilitas kapiler meningkat.
  3. Peristiwa Ketiga, adalah peran dalam aktivasi kaskade koagulasi. Gangguan pada kaskade koagulasi menyebabkan konsumsi fibrinogen dan trombosit yang abnormal mengakibatkan insufisiensi komponen pembekuan dan terjadi manifestasi perdarahan pada berbagai organ.
Rangkaian yang terbentuk akibat dari ketiga peristiwa tersebut, maka pada leptospirosis terjadi berbagai kelainan pada sel, jaringan dan organ. Pada liver terjadi disfungsi hepatoseluler termasuk menurunnya produksi faktor pembekuan, menurunnya produksi albumin, serta menurunnya esterifikasi kholesterol, terjadi kholestasis intrahepatik serta hiperplasi dan hiperthropi sel Kupffer, serta apoptosis hepatosit selama berlangsungnya infeksi. Manifestasi leptospirosis ikterik yang disertai gagal ginjal dilaporkan pertama kali oleh Adolf Weil di Heidelberg 100 tahun yang lalu.
Kelainan pada ginjal terjadi akibat komplek imun serta efek toksik langsung dari Leptospira yang merusak tubulus, vaskulitis, kerusakan endotel, terjadi hipoksemia, nefritis interstisial, nekrosis tubuler akut. Nefritis dan nekrosis tubuler akut, keduanya diakibatkan akibat migrasi spirochaeta kedalam ginjal serta deposisi antigen Leptospira pada glomerolus dan tubulus yang mengakibatkan terjadinya gagal ginjal dan kematian penderita.
Pada paru terjadi kongesti pulmonum, perdarahan-perdarahan, infiltrasi monosit dan neutrofil di rongga alveoler, dan Leptospira juga dapat ditemukan di dalam sel-sel endotel septa interalveoler serta kapiler. Keruasakan kapiler pulmoner mendorong terjadinya perdarahan di paru dan gagal nafas akut sebagai penyebab kematian penderita leptospirosis berat. Pada jantung terjadi miokarditis interstisial dan arteritis koroner.
Gangguan pada susunan saraf pusat terutama terjadi pada minggu pertama infeksi. Dalam masa tersebut Leptospira dapat ditemukan dalam cairan cerebrospinal, tetapi tidak akan menimbulkan meningitis sepanjang cukup tersedia imunoglobulin. Manifestasi gangguan pada sistem saraf adalah neuritis atau polineuritis, perubahan mental termasuk perasaan bingung, delirium, depresi mental, maupun psikosis yang dapat berlangsung beberapa bulan sampai 2 tahun atau lebih.
Pada mata, manifestasinya berupa iritis, iridoksiklitis, dan uveitis kronis. Pada otot , terjadi perubahan vakuola-vakuola sitoplasma dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada vaskuler terjadi vaskulitis, jejas endotel kapiler. Pada eritrosit dapat terjadi hemolisis. Manifestasi perdarahan dapat terjadi pada 33% kasus leptospirosis. Pada otot kerangka terutama daerah betis terjadi nekrosis fokal, miositis pada sel-sel otot yang disertai infiltrasi sel-sel histiosit, neutrofil dan sel plasma.
Pada fase imun infeksi Leptospira, terkait dengan respon imun diawali sewaktu sel B atau sel T berikatan dengan suatu protein yang diidentifikasi oleh sel B atau sel T sebagai benda asing. Lipoprotein pada membran luar Leptospira merupakan protein permukaan yang akan dikenali sebagai benda asing oleh sel B atau sel T. Karena dianggap asing maka lipoprotein tersebut berperan sebagai antigen, dan bersifat imunogenik sehingga dapat menstimulasi sel T dan sel B menjadi aktif, terjadi multiplikasi dan berdeferensiasi lebih lanjut. Respon sel B terhadap lepoprotein pada protein membran luar Leptospira potensial memicu keradangan. Sel plasma yang terdapat di dalam sirkulasi, limpa, segera merespon terhadap lipoprotein Leptospira tersebut dengan menghasilkan antibodi atau imunoglobulin yang kemudian berikatan dengan antigen tersebut dan terbentuk kompleks antigen-antibodi.
Meningkatnya aktivitas sel plasma selama berlangsungnya leptospirosis termasuk meningkatnya aktifitas pembelahan secara ekstensif dan menghasilkan lebih dari 10 juta salinan antibodi dalam satu jam. Selama berlangsungnya infeksi Leptospira akan terjadi respons imun humoral yang mempengaruhi ekspresi protein.
Ada tujuh gen yang terekspresi selama berlangsungnya leptospirosis yaitu: p76, p62, p48, p45, p41, p37 dan p32 yang dapat menjadi target respons imun humoral. Dengan imunoblots dapat diidentifikasi empat dari tujuh karakteristik protein, yaitu: LipL32 (merupakan lipoprotein membran luar utama), LipL41 (lipoprotein pada permukaan membran luar), serta Hsp Gro EL dan DnaK. Oleh karena itu, identifikasi ekspresi antigen leptospirosis merupakan implikasi yang penting dalam strategi serodiagnostik dan imunoprotektif.
Dua antigen leptospirosis yang penting adalah p62 dan p76 diidentifikasi sebagai molecular chaperones yang dapat berinteraksi dengan GroL dan DnaK yang kemudian memegang kendali guna menentukan hidup-matinya sel melalui opoptosis. Baik GroL dan DnaK diketahui baik pada fase akut maupun pada fase konvalesen pada penderita-penderita leptospirosis. Ekspresi Hsp termasuk Leptospira GroL dan DnaK mempunyai peranan dalam peningkatan suhu dan progresivitas penyakit, karena kedua gen tersebut berperan untuk mendorong ke arah kematian atau proteksi terhadap sel-sel tubuh terutama yang terlibat dalam respons imun.
Pembentukan antibodi pada paparan pertama sel B memerlukan waktu 2 minggu hingga lebih dari satu tahun. IgM merupakan imunoglobulin berukuran terbesar, dan yang paling tinggi kadarnya pada paparan pertama. IgG merupakan imunoglobulin yang terbentuk kemudian meskipun perlahan selama respons primer, tetapi pasti. IgG merupakan 80% dari semua imunoglobulin dalam sirkulasi. Pada paparan kedua IgG meningkat secara pesat dengan kekuatan yang lebih besar.
Pada waktu leptospiremia sebagian besar Leptospira akan dimusnahkan oleh imunoglobulin. Imunoglobulin akan menghancurkan Leptospira yang mereka ikat melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung. Efek langsung terjadi sewaktu pengikatan antigen ke bagian Fab antibodi mengakibatkan kompleks antigen-antibodi terpresipitasi keluar sirkulasi atau mengalami aglutinasi bersama kompleks lain. Efek tidak langsung terjadi bila bagian Fc diaktifkan. Hal ini merangsang reaksi peradangan , termasuk mengaktifkan komplemen, peningkatan aktivitas makrofag, dan fagositosis. Leptospira yang tinggal pada beberapa organ liver, limpa, ginjal dan lain-lain menginduksi terjadinya berbagai keadaan patologis sehingga memunculkansindrom klinis

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis leptospirosis bervariasi, dari sakit dengan gejala demam ringan hingga bentuk iktero-hemoragik dengan penyulit pada otak, ginjal dan liver.
Penyakit Weil’s merupakan manifestasi penyakit terberat leptospirosis. Masa inkubasi 2-12 hari, rata-rata 7 hari. Onset penyakit mendadak, disertai demam menggigil, sepertiga diantaranya mengalami gejala prodormal kelemahan umum, dan sakit kepala.
Trias gejala klinis penyakit ini adalah demam, ikterik dan perdarahan-perdarahan.
Manifestasi klinis dibagi dalam tiga stadium.
  1. Stadimpertama berlangsung pada minggu pertama disebut stadium demam.
  2. Stadium kedua disebut stadium Ikterik.
  3. Stadium ketiga terjadi pada minngu ketiga disebut satadium konvalesen.
Demam, semua menunjukkan gejala demam dengan temperatur 39,0C pada dua hari pertama dengan lama demam 8 hari. Ikterik, muncul terutama pada minggu ke-2, merupakan gejala penting pada penyakit ini. Ikterik muncul atau berlangsung hari ke-1 hingga ke-13 dengan puncak pada hari ke-4 hingga ke-6. Ikterus berlangsung antara 3 hingga 6 minggu (minimal 4 hari, maksimal 70 hari).
Perdarahan, dialami oleh 70% pasien dengan penyakit ini. Perdarahan subkutan seperti petekie, purpura; perdarahan pada gusi, dan palatum, epistidaksis hingga perdarahan saluran cerna; perdarahan konjungtiva, sputum berdarah, batuk darah, perdarahan saluran genital, hematuria.
Selain demam, ikterik, perdarahan leptospirosis juga disertai gejala neurologis, saluran cerna, sendi dan otot. Gejala neurologis seperti sakit kepala, sulit tidur, gangguan kesadaran, delirium, kekakuan leher memnunjukkan infeksi berlangsung serius. Gejala pada saluran cerna, anoreksia, konstipasi, mual, muntah, nyeri abdomen, meteorismus, ceguken. Masa inkubasi leptospirosis adalah 2-20 hari, dari jumlah individu yang terpapar Leptospira, 90% akan berkembang menjadi leptospirosis anikterik, dan 10% menjadi leptospirosis ikterik.
Manifestasi klinis sangat bervariasi dan menyerupai penyakit infeksi lain, paling jelas serta klasik bila muncul penyakit Wel’s. Ada dua bentuk manifestasi klinis penyakit ini, yang ringan (anikterik) dan manifestasi yang berat (ikterik atau penyakit Weil’s).
Manifestasi klinis leptospirosis berlangsung bifasik yaitu fase septik (fase akut atau fase leptospiremia) dan fase imun. Fase septik, berakhir pada penghujung minggu pertama dengan manifestasi awal sindrom semacam flu, pada fase ini dapat ditemukan Leptospira di dalam darah. Kemudian diikuti fase imun yang berlangsung hari ke 4-30 dengan ditandai produksi antibodi dan sekresi Leptospira dalam urine, serta munculnya manifestasi meningitis aseptik, uveitis, iritis, rash kulit dan gangguan liver serta ginjal. Selama fase ini Leptospira dapat ditemukan dalam urine dan cairan serebrospinal.
Komplikasi leptospirosis sangat dipengaruhi kondisi Leptospira dalam jaringan selama fase imun dan sering terjadi padaminggu ke-2 berlangsungnya infeksi.

TEMUAN LABORATORIUM

Berbagai derajat anemia terjadi terutama pada 7 hari pertama, anemia semakin nyata setelah 3-4 minggu sakit. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin terdapat peningkatan laju endap darah pada awal infeksi dan tetap tinggi selama sakit maupun fase penyembuhan.
Leukositosis dengan netrofilia 9.000-15.000 per mm3 sering terlihat pada minggu pertama sakit.
Trombosit biasanya normal pada sakit ringan hingga sedang, tetapi trombositopeni juga jarang terjadi pada infeksi berat.
Pada urine terdapat proteiuria, piuria dan hematuria mikroskopis, serta toraks hialin maupun granuler.
Proteinuria terutama pada minggu pertama dan menghilang pada minggu ke-2 sakit. Secara mikroskopis Leptospira dapat ditunjukkan melalui: mikroskop lapangan gelap, immunoflouresence, maupun pemeriksaan mikroskopis setelah pengecatan. Mikroskop lapangan gelap dapat mendeteksi leptospirosis bila jumlahnya mencapai 104 Leptospira/ml. Deteksi antigen: metode RIA (radioimmunoassay) dapat mendeteksi Leptospira 104-105 Leptospira/ml, sedangkan metode ELISA dapat mendeteksi Leptospira 105 Leptospira/ml.
Biakan, minggu pertama bahan diambil dari darah maupun cairan serebrospinal sedangkan pada minggu kedua dan seterusnya bahan diambil dari urine. Serologis, IgM antibodi dalam darah mulai dapat ditentukan pada 5-7 hari setelah munculnya gejala. Dengan pemeriksaan serologis ini dapat ditentukan genus dan serogrupnya melalui tes aglutinasi yaitu MAT (microscopic agglutination test) atau dengan tes fiksasi komplemen.
Pemeriksaan biomolekuler bisa dilakukan dengan PCR (polymerase chain reaction). Leptospirosis berat ditandai dengan gangguan faal hati dan ginjal. Pemeriksaan faal hati menunjukkan serum GOT (aspartate aminotransferase; AST), dan GPT (alanine aminotransferase; ALT) dan dehidrogenase laktat (LDH) yang meningkat. Temuan ini penting untuk membedakan leptospirosis dengan hepatitis virus. Perubahan histologis pada liver sering terjadi pada leptospirosis terutama penyakit Weil’s disertai obstruksi intrahepatik. Tes fungsi ginjal sering ditandai peningkatan BUN sering hingga 100-200 mg/dl, apabila kadarnya lebih 200mg/dl menandakan penyakit yang berat.

DIAGNOSIS

Diagnosis perlu segera ditegakkan dengan berlandaskan pada gambaran klinis, temuan laboratoris, dan epidemiologis. Kecurigaan terhadap leptospirosis bila terdapat gejala klinis yang karakteristik seperti demam mendadak yang disertai kelemahan umum, nyeri otot, kongesti konjungtiva serta pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis dengan neutrofilia, peningkatan LED, proteinuria untuk membedakan dengan hepatitis virus.
Pada penyakit Weil’s ditandai demam, ikterus dan perdarahan. Diagnosis definitif dibuat berdasarkan isolasi organisme dari berbagai spesimen, atau serokonversi atau peningkatan titer antibodi 4 kali lipat.
Leptospira dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal selama 10 hari pertama. Medium Korthof dan Tween 80-albumin merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan Leptospira. Organisme ini juga dapat dideteksi melalui mikroskop lapangan gelap, PCR, pengecatan silver pada berbagai cairan tubuh atau pengecatan antibodi fluorescen dari jaringan. Antibodi spesifik Leptospira dapat dideteksi dengan aglutinasi makroskopis pada antigen yang dimatikan, atau aglutinasi mikroskopis dari antigen hidup (lebih spesifik) dan ELISA. Aglutinin mulai nampak setelah 6-12 hari, titernya mencapai puncak dicapai pada minggu 3-4. Reaksi silang sering terjadi dengan penyakit yang disebabkan Spirochaeta yang lain.

TERAPI

Pengobatan harus segera dilakukan seawal mungkin terutama dalam 2-3 hari pertama Imunoterapi menggunakan imunoglobulin spesifik serum kuda yang diberikan 5 hari pertama terbukti efektif untuk mencegah progresifitas penyakit serta memperbaiki prognosis.
Antibiotika peranannya sangat penting dalam penanggulangan leptospirosis Berbagai antibiotika bermanfaat karena cukup sensitif terhadap Leptospira seperti streptomisin, penisilin, tetrasiklin, eritromisin, siprofloksasin, sefalosporin. Untuk penisilin dan chepems memounyai minimal inhibitory concetrations (MIC) terendah terhadap Leptospira pada fase pertumbuhan logaritmik, kurang efektif pada fase-fase stasioner. Streptomisin meskipun dapat bekerja pada fase pertumbuhan tetapi lebih efektif pada fase stasioner. Pada infeksi 4-5 hari pertama Streptomisin sangat efektif mengeliminasi Leptospira. Streptomisin 1-2 gram dua kali sehari intramuskuler diberikan selama 2-4 hari sangat efektif pada sindrom Wel’s. Antibiotoka yang dapat bekerja pada fase pertumbuhan logaritmik maupun stasioner adalah gentamisin, tobramisin, isepamisin.

MORTALITAS

Mortalitas leptospirosis berat mencapai 15-40%.

PENCEGAHAN

Kontrol infeksi leptospiral harus dilandasi upaya pencegahan dan menurunkan karier Leptospira antara lain sebagai berikut.
  1. Salah satu upaya adalah melindungi kulit pada saat kontak dengan air kotor dengan baju pelindung, sepatu boot, sarung tangan. Bagi pekerja di tempat resiko tinggi perlu dilakukan vaksinasi menggunakan vaksin serovar copenhageni, autumnalis, hebdomadis, australis, pyrogenes. Karena transmisi sering terdapat pada air kotor maupun tanah yang terpapar Leptospira, maka mengusahakan drainase air, melakukan desinfeksi tanah menggunakan lime, serta menghindari penularan infeksi melalui kulit intak maupun mukosa saluran cerna (Kobayashi, 2001)
  2. Inada dkk juga menyarankan dilakukan imunisasi pada binatang dengan spirochaeta yang telah dimatikan menggunakan carbolic acid. Paling efektif dengan kontrol terhadap tikus, dan menghindari kontak dengan urine dan air yang terkontaminasi Leptospira.
  3. Bagi individu yang beresiko tinggi terpapar Leptospira atau akan mengunjungi daerah endemik dianjurkan memakai doksisiklin 200 mg per minggu.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Dr. Nasronudin, dr., SpPD, K-PTI; Usman Hadi, dr., SpPD, K-PTI; Vitanata, dr.,SpPD; Erwin AT, dr.,SpPD; Bramantono, dr., SpPD; Prof. Dr. Suharto, dr., SpPD, MSc, 3. DTM&H, K-PTI; Prof. Eddy Suwandojo, dr.,SpPD, K-PTI, “Penyakit Infeksi di Indonesia, Solusi kini dan mendatang”, Airlang ga University Press, Surabaya, 2007

Tidak ada komentar: