Minggu, 06 Juni 2010

ASKEP Klien Dengan Gangguan Konduksi (Epilepsi)

Definisi
Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronis dengan berbagai macam efiologi yang ditandai oleh timbulnya serangan proksimal (berulang) yang berkala sebagai akibat lepasnya muatan listrik selebal secara berlebihan.
Epilepsi ialah gangguan kronik otak dengan ati timbulnya gejala-jelasa yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. (Arif Mansjoer).
Serangan ini suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula. Gangguan ini disebabkan oleh faktor fisiologis, biokimia anatomis.

Etiologi
Otak kita terdiri dari jutaan sel saraf (iveuron) yang bertugas mengoordinasikan semua aktivitas tubuh kita termasuk perasaan, penglihatan, berfikir, menggerakkan (otot). Pada penderita ayan, terkadang sinyal-sinyal tersebut tidak beraktivitas sebagaimana mestinya. Hal ini dapat diakibatkan oleh berbagai unsur-unsur, antara lain : trauma kepala (pernah mengalami cedera di daerah kepala), tumor otak dan lain sebagainya.
Umumnya Epilepsi disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka kepala, pitam otak (strok), tumor otak, alkohol. Kadang-kadang Epilepsi juga karena genetika, tapi bukan penyakit keturunan dan penyebab pastinya tetap belum diketahui.

Patofisiologi
Gejala-gejala yang ditimbulkan akibat serangan epilepsi sebagian karena otak mengalami kerusakan/lesi.
Kerusakan/lesi dapat berupa jaringan perut, akibat trauma lahir, trauma kapitis, infeksi selaput jaringan otak ataupun suatu tumor Serebri. Sedangkan berat-ringanya gangguan tersebut tergantung dari lokasi dan keadaan patologinya. Bila terjadi lesi pada bagian otak tengah, thalamus dan konteks serebri kemungkinan bersifat epileptogenik :
 Lesi pada serbellum dan batang otak biasanya tidak mengakibatkan serangan epileptik.
 Bangkitan epilepsi yang terjadi karena adanya lepas muatan listrik yang berlebihan dari sekelompok neuron disusunan saraf pusat yang dapat tetap terlokalisir pada kelompok neuron terbuat atau meluas keseluruh hemisfer dan batang otak.
 Lepas muatan listrik yang abnormal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antara proses eksistensi dan inhibisi pada interaksi neuron.
Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan pada sel neuronnya sendiri maupun transmisi sinaptik.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah :
1.Ketidak stabilan membaran sel saraf --> sel mudah diatifkan.
2.Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun --> mudah terangsang dan terangsang secara berturut-turut.
3.Mungkin terjadi polarisasi yang abnormal.
4.Adanya ketidak seimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron yang dapat menyebabkan membran neuron mengalami depolarisasi.

Klasifikasi internasional serangan epilepsi:
1.Serangan parsialy
Lebih dari 60% serangan termasuk kedalam klasifikasi serangan partial.
a. Simptomatologik elementer (motorik, sensorik atau autonomik). Disebut epilepsi Jacksonian atau epilepsi fokal. Serangan-serangan ini terjadi tanpa kehilangan kesadaran bila unilateral, kehilangan kesadaran bila bilateral. Serangan ini gejalanya tergantung pada daerah yang terkena, bisa terdiri dari gejala-gejala motor, sensori atau autonomik atau kombinasi ketiganya.
b. Simptomatologik komplek (psikomotor epilepsi atau epilepsi lobus temporalis). Serangan-serangan ini bisa terjadi pada semua umur tapi lebih sering terjadi pada orang dewasa. Didahului oleh aura, yang terdiri atas gejala-gejala kognitif, efektif, psikosensori, psikomotor atau bentuk kombinasi. Biasanya masih sadar pada waktu serangan tetapi tidak dapat mengingat kembali apa yang terjadi.
Terdapat gangguan mental tak permanen, gerakan-gerakan otomatis tanpa tujuan seperti bertepuk tangan, mengecap-ngecapkan bibir, membuka atau menutup kancing baju. Kadang-kadang ingat kembali masa lalu, ada halusinasi penglihatan atau penciuman, mudah lupa, kesulitan menemukan kata-kata tertentu, perubahan personalitas, tingkah laku antisosial dan perasaan yang kurang pada tempatnya. Mudah terangsang oleh musik, cahaya yang menyilaukan atau stimulus-stimulus lainnya. Sifatnya bilateral, simetris dan tanpa permulaan lokal.
2.Serangan umum
a. lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa didahului aura. Kesadaran hilang selama beberapa detik, ditandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonikaklonik.
b. Mioklonik. Serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi-kontraksi otot-otot yang singkat dan tiba-tiba, bisa simetris atau asimetris, sinkronis atau asinkronis. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.
c. Tonik. Serangan-serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot ektremitas sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa menit. Terjadi pada anak-anak umur 1-7 tahun.
d. Klonik. Serangan dimulai dengan kehilangan kesadaran yang disebabkan oleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tekan bilateral yang lamanya satu menit sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubuh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan-sentakan ini satu saat ke saat lain setelah serangan bisa terjai kesembuhan yang cepat atau terjadi kebingungan yang lama. Dijumpai terutama sekali pada anak-anak.
e. Tonik-Klonik, biasa disebut Grandmal. Merupakan jenis serangan klasik epilepsi. Yang serangan ini ditandai oleh suatu aura berupa suatu sensasi penglihatan atau pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat. Mungkin pasien akan mengeluarkan teriakan atau jeritan epileptik akibat spasme tofaks atau spasme otot abdomen sehingga menyebabkan udara keluar melalui glotis. Kemudian tonus otot meningkat (fase tonik), biasanya menghasilkan sikap fleksi yang kaku dan kemudian sikap ekstensi yang baku. Keadaan ini diikuti oleh sentakan-sentakan bilateral yang ritmis yang lebih lama. Dapat dilihat fenomena-fenomena autonomik yang menyolok selama fase-fase tonik dan klonik. Lidah bisa tergigit selama fase tonik atau klonik. Setelah fase serangan (postictal) terjadi tonus otot yang meningkat dan kemudian otot-otot menjadi flacid, inkontinen siaonin dan alvi. Pasien bisa tertidur 30 menit sampai beberapa jam, mengantuk, bingung dan lupa terhadap apa yang terjadi.
f. Atonik Serangan-serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa dimanifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot, dan pasien bisa jatuh dan mendapat luka-luka. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.

3.Serangan unilateral (atau predominan)
4.Serangan epilepsi yang tidak dapat digolongkan (karena datanya tidak lengkap)

Status Epileptikus
Jika serangan-serangan terjadi begitu sering sehingga pasien belum keluar dari satu serangan telah mendapat serangan yang lain, maka pasien berada dalam status epileptikus.
Serangan berulang-ulang bisa tiap tipe walaupun biasanya pada serangan umum tonik-klonik. Hal ini merupakan hal yang medis emergensi karena bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen.
Penyebab status epileptikus yang paling sering adalah suhu yang tinggi atau obat antileptinya dihentikan. Penyebab lain adalah karena gangguan-gangguan metabolik, kurang tidur, meningitis, trauma, otak, intoksikasi obat, menghentikan obat-obat sedative, alkohol, dll.

Aspek Psikososial Pada Epilepsi
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya masalah psikososial :
1.Prasangka dan ketidaktahuan masyarakat tentang “epilepsi” sebagian besar masyarakat masih menganggap epilepsi suatu penyakit yang membahayakan, dapat menular, akibat kemasukan setan, sakit jiwa, sehingga penderita dikucilkan. Masyarakat lebih mudah menerima pada penyakit yang nyata dan mau membantu. Tapi epilepsi merupakan cacat yang tidak nyata dan dapat timbul sewaktu-waktu dan di mana saja, sehingga keluarga dan pasien selalu menjalani kehidupannya dengan tegang. Orang tua akan bersikap overprotektif yang mengakibatkan anak tumbuh menjadi pemalu, mengasingkan diri, sukar berani dan merasa rendah diri. Anak dibatasi ruang geraknya karena takut cedera bila mengalami serangan.
2.Pendidikan. Sebagian besar penderita epilepsi dapat bersekolah di sekolah biasa, dan hanya sedikit yang perlu sekolah luar biasa. Perasaan takut dari guru sekolah bila anak mengalami serangan di sekolah akan menggangu kegiatannya, anak dengan epilepsi sering diliburkan. Tidak jarang dengan epilepsi dirugikan karena tidak diperkenankan ikut dalam kegiatan olah raga, darmawisata, kuliah, kerja. Karena guru khawatir muridnya mendapat cedera bila timbulnya serangan selama kegiatan tersebut. Kadang-kadang anak yang menderita epilepsi jarang berprestasi di sekolah.
3.Pekerjaan. Masih banyak majikan yang tidak mau menerima penderita epilepsi dengan alasan keselamatan kerja dari penderita, dapat menggangu suasana kerja bila penderita timbul serangan di tempat kerja dan akan mengurangi jam kerjanya. Demikian menyebabkan penderita merahasiakan penyakitnya hal ini akan menyebabkan penderita epilepsi akan selalu dalam keadaan tegang. Stress emosi ini justru dapat menjadi gangguan serangan. Sebetulnya banyak pekerjaan yang dapat dilakukan oleh penderita epilepsi sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Kecuali beberapa pekerjaan yang tidak boleh dikerjakan karena membahayakan bila penderita hilang ditempat kerja dan disertai kejang-kejang. Contohnya antara lain : gangguan konduksi, bekerja dengan bahan kimia, di kolam renang dan bekerja dengan alat yang mudah pecah.
4.Olah raga. Olah raga baik untuk kesehatan fisik dan mental. Melarang penderita melakukan kegiatan olah raga menyebabkan penderita yang gemar olah raga merasa rendah diri, fustasi dan dapat menyebabkan pencetus bangitan. Ada beberapa jenis olah raga yang perlu dihindari seperti mendaki gunung, menyelam, senam palang, berenang (boleh dengan pengawasan).
5.Wanita dan Epilepsi. Apakah wanita dengan epilepsi diperkenankan hamil? Penderita epilepsi diperkenankan hamil, namun ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. Serangan kejang selama kehamilan harus bisa diatasi, karena kejang-kejang merupakan trauma bagi janinnya. Speidel dan Meadow melaporkan bahwa kemungkinan terjadinya kelainan kongenital 2-3 kali lebih sering terjadi pada penderita epilepsi yang hamil. Di lain pihak insidensinya kelainan kongenital tinggi pada janin dari penderita epilepsi yang menggunakan obat.
Epilepsi tidak umum ditirunkan, tapi kemungkinan memang bisa terjadi anak yang dilahirkan oleh ibu/bapak yang menderita epilepsi akan mendapat epilepsi.
6 Mengendarai kendaraan bermotor. Sebaiknya penderita epilepsi dilarang mengendarai sepeda motor, mobil atau membawa kendaraan umum seperti bis, metromini dan lain-lain karena dapat membahayakan dirinya maupun orang lain.
7.Ketergantungan. Perasaan ketergantungan terhadap obat anti epilepsi dan pada orang-orang sekitarnya bila mendapat serangan dapat menimbulkan konflik dan perasaan “kurang” dalam dirinya sehingga dapat menghambat integrasi penderita dalam masyarakat. Pemberian motivasi dan nasehat untuk belajar menerima keadaan kepada penderita sangatlah penting.

Pengkajian
1.Bio data. Yang dikaji adalah nama, umur, alamat, pekerjaan, pendidikan, agama, serta data keluarga.
2.Apa yang terjadi selama serangan :
Apakah ada kehilangan kesadaran/pingsan.
Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat/lena.
Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai?
Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
Apakah pasien menggigit lidah.
Apakah mulut berbuih.
Apakah ada inkontinen urin dan feses.
Apakah bibir atau muta berubah warna?
Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya.
3.Sesudah serangan:
Apakah pasien: letargi, bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara dll.
Apakah ada perubahan dalam gerakan misalnya hemiplegia sementara.
Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelumnya, selama dan sesudah serangan.
Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekwensi denyut jantung.
Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang (memar, luka goresan).
4.Riwayat sebelum serangan :
Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik, maupun visual.
5.Riwayat Penyakit:
Sejak kapan serangan seperti di atas terjadi.
Pada usia berapa serangan pertama terjadi.
Frekwensi serangan.
Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional.
 Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
Apakah pernah menderita cedera otak, operais otak?
Apakah makan obat-obat tertentu seperti alkohol, dll.
Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.

Kemungkinan diagnosa keperawatan
Potensial terjadi luka/trauma fisik sehubungan dengan kehilangan kesadaran yang tiba-tiba.
Tak efektif jalan napas sehubungan dengan terjadinya sumbatan lendir atau sekret di trakeobronikial.
Gangguan konsep diri rendah diri sehubungan dengan punya penyakit epilipsi.
Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
tidak efektifnya “kopling” individu sehubungan dengan cacat psikososial dan sosial.
Potensial terjadi serangan berulang atau status epileptikus

Perencanaan dan implementasi
Mengontrol serangan dan mencegah serangan berulang.
1.Kenali penyabab/stimuli yang dapat menyebabkan rangsangan
2.Kenali aura sebelum terjadi serangan.
3.Anjurkan agar pasien/keluarga untuk mencatat kejadian-kejadian serangan (jumlah, lamanya, waktu kejadian, pola tidur/makan) untuk membantu menentukan terapi
4.Tekankan pentingnya mendapatkan obat anti epilepsi yang teratur dan tidak boleh
5.Jelaskan kepada pasien efek dari obat anti epilepsi
6.Anjurkan pasien untuk memeriksakan darah secara teratur untuk mengevaluasi apakah obat antiepilepsi menekan hemopoiesis.

Perawatan sewaktu terjadinya serangan.
1.Pada saat pasien mendapat serangan pasien tidak boleh ditinggalkan, karena dapat terjadi bahaya-bahaya misalnya luka fisik, aspirasi, lidah tergigit.
2.Miringkan kepala pasien untuk mencegah aspirasi.
3.Jika sempat masukan penekan lidah dengan segera ke dalam mulut.
4.Bila serangan tidak terjadi di tempat tidur letakkan bantal dibawah kepala pasien atau letakkan kepala pasien di pangkuan perawat untuk mencegah kepala pasien terbentur di lantai.
5.Alat-alat yang membahayakan disingkirkan.
6.Ekstremitas harus ditahan tapi tidak boleh terlalu kuat.
7.Pakaian-pakaian yang sempit dilonggarkan.
8.Catat semua gejala-gejala dan tanda-tanda serangan.
9.Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti epilesi

Setelah serangan
1.Bila pasien tidak sadar:
Janga agar saluran napas menjadi lancar, dengan memiringkan kepala pasien.
Jaga agar tanda-tanda vital tetap normal.
Kebutuhan cairan dan elektrolit harus diperhatikan misalnya diberi infus dan makanan cairan melalui pipa penduga.
2.Kaji apakah pasien dapat mengingat apa yang telah terjadi.
3.Beri rasa aman pada pasien.
4.Kaji apakah terjadi trauma fisik.

D. Meningkatkan harga diri
1.Diskusikan dengan pasien bagimana pendapat pasien mengenai penyakitnya
2.Kenali kekuatan/keterampilan pasien agar pasien dapat hidup di masyarakat dengan baik.
3.Dorong pasien dapat mempergunakan kekuatan atau hal-hal yang positif pada dirinya sehingga dapat mengurangi stres.

E. Pendidikan untuk Pasien
1.Pasien harus mengerti tentang kondisi penyakitnya.
2.Perlunya minum obat secara teratur.
3.Jelaskan faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan:
Jumlah yang tidak adekuat dari obat anti epileptik dalam darah.
Obat-obat anti epileptik yang tidak cocok.
Hyperventilasi.
Trauma otak, demam, penyakit.
Kurang/tidak tidur
Stres emosional
perubahan-perubahan hormonal seperti kehamilan dan menstruasi.
Nutrisi yang buruk
Tidak seimbang cairan dan elektrolit.
Alkohol/obat-obat.
4.Jelaskan tentang konsekuensi-konsekuensi psikososial tentang:
Pekejaan
Mengendarai mobil
Sport dan rekreasi
Mandi
Kehamilan
Minum-minum alkohol
Ada tanda pengenal harus dinasehatkan untuk membawa


DAFTAR PUSTAKA

Syluki A. Price Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Vol 2. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2005.

Mansjoer. Arif M. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius. Kedokteran UI; 2000.

Piagama.ugm.ac.id

id.wikipedia.org

Tidak ada komentar: