Senin, 07 Juni 2010

SELF CARE DAN MAL PRAKTEK.


I. PENDAHULUAN
Keperawatan sebagai pelayanan profesional, dalam aplikasinya harus dilandasi oleh dasar keilmuan keperawatan yang kokoh. Dengan demikian perawat harus mampu berfikir logis, dan kritis dalam menelaah dan mengidentifikasi fenomena respon manusia. Banyak bentuk-bentuk pengetahuan dan ketrampilan berfikir kritis harus dilakukan pada setiap situasi klien, antara lain dengan menggunakan model-model keperawatan dalam proses keperawatan dan tiap model dapat digunakan dalam praktek keperawatan sesuai dengan kebutuhan.

Pemilihan model keperawatan yang tepat dengan situasi klien yang spesifik, memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang variabel-variabel utama yang mempengaruhi situasi klien. Langkah-langkah yang harus dilakukan perawat dalam memilih model keperawatan yang tepat untuk kasus spesifik adalah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan informasi awal tentang fokus kesehatan klien, umur, pola hidup dan aktifitas sehari-hari untuk mengidentifikasi dan memahami keunikan klien.
2. Mempertimbangkan model keperawatan yang tepat dengan menganalisa asumsi yang melandasi, definisi konsep dan hubungan antar konsep.

Dari beberapa model konsep, salah satu diantaranya adalah model “self care” yang diperkenalkan oleh Dorothea E. Orem. Orem mengembangkan model konsep keperawatan ini pada awal tahun 1971 dimana dia mempublikasikannya dengan judul “Nursing Conceps of Practice Self Care”. Model ini pada awalnya berfokus pada individu kemudian edisi kedua tahun 1980 dikembangkan pada multiperson’s units (keluarga, kelompok dan komunitas) dan pada edisi ketiga sebagai lanjutan dari tiga hubungan konstruksi teori yang meliputi : teori self care, teori self care deficit dan teori nursing system.


II. LANDASAN KONSEP MODEL / TEORI KEPERAWATAN “SELF CARE”
A. Pengertian
Keperawatan mandiri (self care) menurut Orem’s adalah :
“Suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit” (Orem’s 1980).
Pada dasarnya diyakini bahwa semua manusia itu mempunyai kebutuhan-kebutuhan self care dan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kebutuhan itu sendiri, kecuali bila tidak mampu.

B. Keyakinan dan nilai-nilai
1. Keyakinan Orem’s tentang empat konsep utama keperawatan adalah :
a. Klien : Individu atau kelompok yang tidak mampu secara terus menerus mempertahankan self care untuk hidup dan sehat, pemulihan dari sakit/trauma atau coping dan efeknya.
b. Sehat : Kemampuan individu atau kelompok memenuhi tuntutan self care yang berperan untuk mempertahankan dan meningkatkan integritas struktural fungsi dan perkembangan.
c. Lingkungan : Tatanan dimana klien tidak dapat memenuhi kebutuhan keperluan self care dan perawat termasuk di dalamnya tetapi tidak spesifik.
d. Keperawatan : Pelayanan yang dengan sengaja dipilih atau kegiatan yang dilakukan untuk membantu individu, keluarga dan kelompok masyarakat dalam mempertahankan seft care yang mencakup integrias struktural, fungsi dan perkembangan.
Berdasarkan keyakinan empat konsep utama diatas, Orem’s mengembangkan konsep modelnya hingga dapat diaplikasikan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

2. Tiga kategori self care
Model Orem’s, meyebutkan ada beberapa kebutuhan self care atau yang disebutkan sebagai keperluan self care (sefl care requisite), yaitu :
a. Universal self care requisite : Keperluan self care universal ada pada setiap manusia dan berkaitan dengan fungsi kemanusian dan proses kehidupan, biasanya mengacu pada kebutuhan dasar manusia. Universal self care requisite yang dimaksudkan adalah :
- Pemeliharaan kecukupan intake udara
- Pemeliharaan kecukupan intake cairan
- Pemeliharaan kecukupan intake makanan
- Pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat
- Pemeliharaan keseimbangan antara solitut dan interaksi sosial
- Mencegah ancaman kehidupan manusia, fungsi kemanusiaan dan kesejahteraan manusia.
- Persediaan asuhan yang berkaitan dengan proses-proses eleminasi dan exrement.
- Meningkatkan fungsi human fungtioning dan perkembangan kedalam kelompok sosial sesuai dengan potensi seseorang, keterbatasan seseorang dan keinginan seseorang untuk menjadi normal.
b. Developmental self care requisite : terjadi berhubungan dengan tingkat perkembangan individu dan lingkungan dimana tempat mereka tinggal, yang berkaitan dengan perubahan hidup seseorang atau tingkat siklus kehidupan.
c. Health Deviation self care requisite : timbul karena kesehatan yang tidak sehat dan merupakan kebutuhan-kebutuhan yang menjadi nyata karena sakit atau ketidakmampuan yang menginginkan perubahan dalam perilaku self care.

Orem’s mendiskripsikan dua kategori dibawah ini sebagai keperluan self care (self care requisites), dan ini timbul dari pengaruh peristiwa-peristiwa pada keperluan universal self care antara lain : Sewaktu ada keinginan untuk mengasuh dirinya sendiri dan seseorang itu mampu untuk menemukan keinginannya, maka self care itu dimungkinkan. Tetapi bila keinginan itu lebih besar dari kapasitas individual atau kemampuan untuk menemukannya, terjadilah ketidak seimbangan dan ini dikatakan sebagai self care deficit.

C. Tujuan
Tujuan keperawatan pada model Orem’s secara umum adalah :
1. Menurunkan tuntutan self care kepada tingkat dimana klien dapat memenuhinya, ini berarti menghilangkan self care deficit.
2. Memungkinkan klien meningkatkan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan self care.
3. Memungkinkan orang yang berarti (bermakna) bagi klien untuk memberikan asuhan depenent (dependent care) jika self care tidak memungkinkan, oleh karenanya self care deficit apapun dihilangkan.
4. Jika ketiganya diatas tidak ada yang tercapai, perawat secara langsung dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan self care klien.
Tujuan kepewatan pada model Orem’s yang diterapkan kedalam praktek keperawatan keluarga /komunitas adalah :
1. Menolong klien dalam hal ini keluarga untuk keperawatan mandiri secara therapeutik.
2. Menolong klien bergerak kearah tindakan-tindakan asuhan mandiri
3. Membantu anggota keluarga untuk merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan secara kompeten.
Dengan demikian maka fokus asuhan keperawatan pada Model Orem’s yang diterapkan pada praktek keperawatan keluarga / komunitas adalah :
a. Aspek Interpersonal : Hubungan didalam keluarga
b. Aspek Sosial : Hubungan keluarga dengan masyarakat di sekitarnya.
c. Aspek Prosedural : Melatih ketrampilan dasar keluarga sehingga mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi.
e. Aspek Tehnis : Mengajarkan kepada keluarga tentang tehnik dasar yang dilakukan dirumah, misalnya melakukan tindakan kompres secara benar.


D. Pengetahuan dan Ketrampilan untuk Praktek
Perawat menolong klien untuk menemukan kebutuhan self care dengan menggunakan tiga kategori dalam system keperawatan dan melalui lima metode bantuan.

1. Kategoi Bantuan :
a. Wholly Compensatory : Bantuan secara keseluruhan, dibutuhkan untuk klien yang tidak mampu mengontrol dan memantau lingkungannya dan tidak berespon terhadap rangsangan.
b. Partially Compensatory : Bantuan sebagian, dibutuhkan bagi klien yang mengalami keterbatasan gerak karena sakit atau kecelakaan.
c. Supportive Education : Dukungan pendidikan dibutuhkan oleh klien yang memerlukannya untuk dipelajari, agar mampu melakukan perawatan mandiri.

2. Metode Bantuan
Perawat membantu klien dengan menggunakan sistem dan melalui lima metode bantuan yang meliputi :
a. Acting atau melakukan sesuatu untuk klien
b. Mengajarkan klien
c. mengarahkan klien
d. Mensupport klien
e. Menyediakan lingkungan untuk klien agar dapat tumbuh dan berkembang.

Untuk melaksanakan hal tersebut, lima area utama untuk praktek keperawatan di diskripsikan sebagai berikut :
a. Masuk kedalam dan memelihara hubungan perawat – klien dengan individu, keluarga atau kelompok sampai klien dapat diizinkan pulang dari perawatan.
b. Menetapkan jika dan bagaimana klien dapat dibantu melalui perawatan.
c. Merespon keperluan klien, keinginannya dan kebutuhannya untuk kontak dengan perawat dan asisten.
d. Mengkoordinasikan dan mengintegrasikan keperawatan dan kehidupan sehari-hari klien, pelayanan kesehatan yang dibutuhkan atau diterima, atau pelayanan sosial dan penyuluhan yang dibutuhkan atau yang diterima.

III. PENUTUP
Dengan mempelajari model konsep / teori keperawatan sebagaimana disampaikan dimuka maka dapat disimpulkan betapa perawat harus memahami apa yang harus dilakukan secara tepat dan akurat sehingga klien dapat memperoleh haknya secara tepat dan benar. Asuhan keperawatan dengan pemilihan model konsep / teori keperawatan yang sesuai dengan karakteristik klien dapat memberikan asuhan keperawatan yang relevan.

Model konsep / teori keperawatan self care mempunyai makna bahwa semua manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan self care dan mereka mempunyai hak untuk memperolehnya sendiri kecuali jika tidak mampu. Dengan demikian perawat mengakui potensi pasien untuk berpartisipasi merawat dirinya sendiri pada tingkat kemampuannya dan perawatan dapat menentukan tingkat bantuan yang akan diberikan.
Untuk dapat menerapkan model konsep / teori keperawatan ini diperlukan suatu pengetahuan dan ketrampilan yang mendalam terhadap teori keperawatan sehingga diperoleh kemampuan tehnikal dan sikap yang terapeutik.


MALPRAKTEK
Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pengertian malpraktek
2. Menjelaskan malpraktek dalam keperawatan
3. Menjelaskan malpraktek serta gugatannya
4. Menjelaskan malpraktek dan tanggung jawabnya
5. Menjelaskan hukum malpraktek
6. Menjelaskan penanganan tindakan malpraktek

PENDAHULUAN
Bidang Etika keperawatan sudah menjadi tanggung jawab organisasi keprofesian untuk mengembangkan jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas dapat diperoleh oleh tenaga keperawatan yang profesional. Dewasa ini perkembangan keperawatan di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat pesat menuju perkembangan keperawatan sebagai profesi. Proses ini merupakan suatu perubahan yang sangat mendasar dan konsepsional, yang mencakup seluruh aspek keperawatan baik aspek pelayanan atau aspek-aspek pendidikan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kehidupan keprofesian dalam keperawatan.
Malpraktek Medik merupakan kumpulan dari keputusan-keputusan hakim mengenai kasus-kasus hukum Kedokteran yang pernah diadili,dengan membaca keputusan-keputusan tersebut, maka kita akan memperoleh suatu gambaran yang lebih tegas dan lebih mendalam mengenai permasalahan apa saja yang banyak terjadi, permasalahan apa saja yang harus diperhatikan dan dijaga agar tidak terulang kembali dinegara kita. Bermanfaat pula untuk mengetahui apa hukumnya, ada dasar pertimbangan hakim, apa tolak ukurnya dengan demikian maka dapat kita ambil hikmah dan memetik pelajaran yang sangat berharga.
Perkembangan keperawatan menuju keperawatan profesional sebagai profesi di pengaruhi oleh berbagai perubahan, perubahan ini sebagai akibat tekanan globalisasi yang juga menyentuh perkembangan keperawatan professional antara lain adanya tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan yang pada hakekatnya harus diimplementasikan pada perkembangan keperawatan professional di Indonesia. Disamping itu dipicu juga adanya UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan UU No. 8 tahun 1999 tentang perkembangan konsumen sebagai akibat kondisi sosial ekonomi yang semakin baik, termasuk latar belakang pendidikan yang semakin tinggi yang berdampak pada tuntutan pelayanan keperawatan yang semakin berkualitas. Jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari tenaga keperawatan yang profesional. Dalam konsep profesi terkait erat dengan 3 nilai sosial yaitu:
1. Pengetahuan yang mendalam dan sistematis.
2. Ketrampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan yang lama dan teliti.
3. Pelayanan atau asuhan kepada yang memerlukan, berdasarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini yaitu “Etika Profesi”.
Namun demikian mungkin perlu ditegaskan bahwa suatu kasus hukum kedokteran mengandung banyak segi-segi berlainan sehingga dapat dikatakan bahwa kasusnya tidak ada yang “murni bedah” (informed content). Secara umum dapat dikatakan bahwa kasus hukum kedokteran selalu ada satu dengan yang lain sebagai contoh “kasus bedah” mungkin berkaitan dengan masalah informed Content sebaliknya dalam hal-hal yang menyangkut perluasan operasi, juga dengan standar profesi medik, dengan unsur kelalaian dsb. Demikian pula kasus informed sebaliknya juga bisa ada kaitannya dengan unsure gawat darurat, dengan masalah tindakan medik, rekaman medik, rahasia kedokteran dst.
Kini istilah kelalaian mulai dipopulerkan dalam kaitannya dengan bidang kedokteran. Demikian pula istilah malpraktik yang pada umumnya diartikan berkaitan dengan profesi kedokteran 9 medika praktik, bahkan ada kecenderungan untuk mengasosiasikan langsung dengan bidang kedokteran. Arti malpraktek telah berlaku pada profesi lainnya. Pada tahun 1981 di Indonesia timbul suatu cabang ilmu hukum baru yang menimbulkan reaksi baik dikalangan profesi kedokteran, maupun hukum dan teristimewa dalam masyarakat, sejak peristiwa tersebut maka bertemulah Thems dan Aesculapiu didalam suatu wadah baru dan bergabung menjadi suatu cabang baru dari disiplin hukum yaitu ”hukum kedokteran” dan ada juga yang menyebut “hukum kesehatan”.
DEFINISI MALPRAKTEK
Malpraktek mempakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek” mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Malpraktek juga dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik, yang biasa terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak mau mematuhi aturan yang ada karena tidak memberlakukan prinsip-prinsip transparansi atau keterbukaan,dalam arti, harus menceritakan secarajelas tentang pelayanan yang diberikan kepada konsumen, baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan jasa lainnya yang diberikan.
Dalam memberikan pelayanan wajib bagi pemberi jasa untuk menginformasikan kepada konsumen secara lengkap dan komprehensif semaksimal mungkin. Namun, penyalahartian malpraktek biasanya terjadi karena ketidaksamaan persepsi tentang malpraktek.
Guwandi (1994) mendefinisikan malpraktik sebagai kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanah pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang tugas/pekerjaannya.
Ada dua istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna, melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan dan berisiko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).


Menurut Hanafiah dan Amir (1999) kelalaian adalah sikap yang kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan sesuatu yang seharusnya seseorang lakukan dengan sikap hati-hati dan wajar, atau sebaliknya melakukan sesuatu yang dengan sikap hati-hati, tetapi tidak dilakukannya dalam situasi tersebut.
Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar dilakukan seseorang dengan hati-hati dalam keadaan tersebut.
Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa kelalaian lebih bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, tetapi akibat, yang ditimbulkan bukanlah tujuannya.
Malpraktik tidak sama dengan kelalaian. Malpraktik. sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan (Vestal, K.W, 1995).
Malpraktik lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata atau pidana.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah :
a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan;
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya. (negligence); dan
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

MALPRAKTEK DALAM KEPERAWATAN
Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan kelalaian atau malpraktik. Malpraktik lebih spesifik dan terkait dengan status profesional seseorang, misalnya perawat, dokter, atau penasihat hukum.
Vestal, K.W. (l995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila pengguagat dapat menunujukkan hal-hal dibawah ini :
a. Duty - Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu, kewajiban mempergunakan segala ilmu fan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi.
Hubungan perawat-klien menunjukkan, bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
b. Breach of the duty - Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilalaikan menurut standar profesinya. Contoh pelanggaran yang terjadi terhadap pasien antara lain, kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
c. Injury - Seseorang mengalami cedera (injury) atau kemsakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum, misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Kelalalian nyeri, adanya penderitaan atau stres emosi dapat dipertimbangkan sebagai, akibat cedera jika terkait dengan cedera fisik.
d. Proximate caused - Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terk dengan cedera yang dialami pasien. Misalnya, cedera yang terjadi secara langsung berhubungan. dengan pelanggaran kewajiban perawat terhadap pasien).
Sebagai penggugat, seseorang harus mampu menunjukkan bukti pada setiap elemen dari keempat elemen di atas. Jika semua elemen itu dapat dibuktikan, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi malpraktik dan perawat berada pada tuntutan malpraktik.
1. Bidang Pekerjaan Perawat Yang Berisiko Melakakan Kesalahan
Caffee (1991) dalam Vestal, K.W. (1995) mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat berisiko melakukan kesalahan, yaitu tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Assessment errors, termasuk kegagalan mengumpulkan data atau informasi tentang pasien secara adekuat atau kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan, seperti data hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda vital, atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan segera. Kegagalan dalam pengumpulan data akan berdampak pada ketidaktepatan diagnosis keperawatan dan lebih lanjut akan mengakibatkan kesalahan atau ketidaktepatan dalam tindakan. Untuk menghindari kesalahan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan data dasar secara komprehensif dan mendasar.
b. Planning errors, termasuk hal-hal berikut :
1. Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskannya dalam rencana keperawatan.
2. Kegagalan mengkomunikaskan secara efektif rencana keperawatan yang telah dibuat, misalnya menggunakan bahasa dalam rencana keperawatan yang tidak dimahami perawat lain dengan pasti.
3. Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang disebabkan kurangnya informasi yang diperoleh dari rencana keperawatan.
4. Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien. Untuk mencegah kesalahan tersebut, jangan hanva menggunakan perkiraan dalam membuat rencana keperawatan tanpa mempertimbangkannya dengan baik. Seharusnya, dalam penulisan harus memakai pertimbangan yang jelas berdasarkan masalah pasien. Bila dianggap perlu, lakukan modifikasi rencana berdasarkan data baru yang terkumpul. Rencana harus realistis berdasarkan standar yang telah ditetapkan, termasuk pertimbangan yang diberikan oleh pasien. Komunikasikan secara jelas baik secara lisan maupun dengan tulisan. Lakukan tindakan berdasarkan rencana dan lakukan secara hati-hati instruksi yang ada. Setiap pendapat perlu divalidasi dengan teliti.
c. Intervention errors, termasuk kegagalan menginteipretasikan dan melaksanakan tindakan kolaborasi, kegagalan melakukan asuhan keperawatan secara hati-hati, kegagalan mengikuti/mencatat order/pesan dari dokter atau dari penyelia. Kesalahan pada tindakan keperawatan yang sering terjadi adalah kesalahan dalam membaca pesan/order, mengidentifikasi pasien sebelum dilakukan tindakan/prosedur, memberikan obat, dan terapi pembatasan (restrictive therapy). Dari seluruh kegiatan ini yang paling berbahaya tampaknya pada tindakan pemberian obat. Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi yang baik di antara anggota tim kesehatan maupun terhadap pasien dan keluarganya.
Untuk menghindari kesalahan ini,, sebaiknya rumah sakit tetap melaksanakan program pendidikan berkelanjutan (Continuing Nursing Education).


2. Beberapa Contoh Kesalahan Perawat
a. Pasien usia lanjut mengalami disorientasi pada saat berada di ruang perawatan. Perawat tidak membuat rencana keperawatan guna memantau dan mempertahankan keamanan pasien dengan memasang penghalang tempat tidur. Sebagai akibat disorientasi, pasien kemudian terjatuh dari tempat tidur pada waktu malam hari dan pasien mengalami patah tulang tungkai
b. Pada pasien pascabedah disarankan untuk melakukan ambulasi. Perawat secara drastis menganjurkan pasien melakukan mobilisasi berjalan, padahal di saat itu pasien. mengalami demam, denyut nadi cepat, dan mengeluli nyeri abdomen. Perawat melakukan ambulasi pada pasien sesuai dengan rencana keperawafan yang telah dibuat tanpa mengkaji terlebih dahulu kondisi pasien. Pasien kemudian bangun dan berjalan, pasien mengeluh pusing dan jatuh sehingga mengalami trauma kepala.
3. Beberapa Permasalahan Yang Dihadapi Oleh Profesi Keperawatan Di Indonesia
Wawasan ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu yang mempelajari bentuk dan sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia melalui pengkajian mendasar tentang hal-hal yang melatarbelakanginya, serta mempelajari berbagai bentuk upaya untuk mencapai kebutuhan dasar tersebut melalui pemanfaatan semua sumber yang ada dan potensial. Bidang garapan dan fenomena yang menjadi objek studi ilmu keperawatan adalah penyimpangan atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosio-spiritual). Oleh karena objeknya adalah manusia dalam segala tingkatannya, dan manusia adalah makhluk hidup yang sampai saat ini, belum semua aspeknya terungkap melalui ilmu pengetahuan, berarti pula perawat senantiasa dihadapkan pada kondisi pekerjaan yang penuh dengan risiko. Oleh karenanya, perawat dituntut pada tingkat kemampuan profesional agar ia mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan.
Hal ini bermakna bahwa pelayanan keperawatan yang profesional hanya dapat. dimungkinkan bila tenaga keperawatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan keperawatan. Tenaga keperawatan yang profesional ditandai dengan pengetahuan yang mendalam dan sistematis, keterampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan lama dan teliti, serta pelayanan/asuhan pada yang memerlukan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini, yaitu etika profesi. Di Indonesia, kategori pendidikan yang menghasilkan tenaga keperawatan profesional diperoleh dan jenjang pendidikan tinggi yang ada saat ini yaitu Akademi Keperawatan (jenjang Diploma III) dan program pendidikan sarjana keperawatan/Ners.
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 telah memberikan pengakuan secara jelas terhadap tenaga keperawatan sebagai tenaga profesional sebagaimana pada Pasal 32 ayat (4), Pasal 53 ayat (I j dan ayat (2)). Selanjutnya, pada ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Banyak kasus yang terlanjur diajukan ke pengadilan sebelum ditangani oleh organisasi profesi, misalnya Majelis Kode Etik Keperawatan, yang terkadang bukan merupakan. pelanggaran hukum (perdata/pidana), tetapi hanya merupakan pelanggaran etik profesi semata, sebagaimana yang telah diatur dalam AD/ART PPNI (Majelis Kode Etik Keperawatan tingkat Pusat baru dibentuk pada tanggal 26 Januari 2002)
Sebagai suatu profesi, PPNI memiliki kode etik keperawatan yang ditinjau setiap 5 tahun dalam MUNAS PPNI. Berdasarkan keputusan MUNAS VI PPNI No. 09/MUNAS VI/PPNI/2000 tentang Kode Etik Keperawatan Indonesia.
Sanksi administratif atau tindakan disiplin kepada tenaga kesehatan, terrnasuk tenaga keperawatan, karena dianggap melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi dan memberikan pelayanan kesehatan diberikan oleh pejabat yang berwewenang (organisasi di tempat tenaga keperawatan tersebut bekerja) atas dasar pertimbangan yang diajukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK).
Majelis ini dibentuk dengan Kepres No. 56 Tahun 1995, yang terdiri dari MDTK tingkat pusat dan MDTK tingkat provinsi.
PPNI, terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum berperan sebagaimana layaknya organisasi profesi. Keberadaan PPNI di daerah tidak dirasakan sebagai suatu kebutuhan dalam mempertahankan kemampuan profesional anggotanya. Hal ini terkadang dipertanyakan oleh para anggotanya. PPNI yang ada di daerah hanya sekadar memenuhi AD/ART PPNI, tetapi kegiatan yang mengarah pada pembinaan anggota kurang mendapat perhatian. Tanpa pembinaan, akan sangat beresiko melakukan malpraktik. Demikian pula dengan terjadi kasus yang dianggap pelajaran yang berlalu begitu saja tanpa turun tangan dari pihak organisasi PPNI, yang terkadang kasusnya menyeret tenaga keperawatan untuk berhubungan dengan polisi/jaksa/pengadilan.
Dalam suatu pemeriksaaan perkara pidana diperlukan keterangan ahli, yaitu keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan guna membuat terang suatu perkara.



MALPRAKTEK SERTA GUGATANNYA
a. Malpraktik Medik
Istilah malpraktik adalah istilah yang umum, tentang kesalahan yang dilakukan oleh profesional dalam menjalankan profesinya. Namun akhir-akhir ini, kalau dibicarakan mengenai malpraktik, pasti yang dibicarakan adalah tentang kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh TK terhadap pasien. Malpraktik yang dilakukan oleh TK, dikenal sebagai malpraktik medik (medical malpractice).
Seorang advokat pun dapat melakukan malpraktik, bahkan ekstrimnya, seorang imam pun dapat melakukan malpraktik, karena advokat dan imam, dalam melakukan pekerjaannya dapat digolongkan sebagai profesional.
Pengertian malpraktik secara umum di atas menyebutkan adanya kesembronoan (professional misconduct) atau ketidakcakapan yang tidak dapat diterima (unreasonable lack of skill) yang diukur dengan ukuran yang terdapat pada tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikkan pada setipa situasi dan kondisi di dalam komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan keahlian rata-rata.
Malpraktik medik dalam proses pengadilan memerlukan penentuan tentang kelalaian dalam teori pertanggungjawaban hukum. Kemudian pertanggungjawaban hukum selalu menuntut dipenuhinya unsur-unsur dari perbuatan melanggar hukum, yang dimulai dengan adanya kewajiban dokter terhadap pasien di dalam hubungan dokter-pasien; adanya cedera yang dapat dimintakan ganti ruginya; adanya hubungan kausal antara pelanggaran terhadap standar pelayanan dan kerugian yang dituntut.
Dimaksudkan dengan maltreatment adalah pemberian pelayanan pengobatan dan perawatan yang tidak pantas atau yang tidak dilakukan dengan keterampilan. Hal ini dapat saja dilakukan karena kesembronoan, kelalaian atau kesengajaan.
Ukuran dari terjadinya professional misconduct atau unreasonable lack of skill tersebut di atas, adalah yang dikenal dengan ukuran (standar) profesi. Pengertian tentang standard of care, menyebutkan adanya derajat pemeliharaan dari orang yang hati-hati akan diberikan dalam situasi dan konsisi yang sama. Apabila profesional memberikan pelayanan di bawah standar, maka profesional harus memberikan ganti rugi atas cedera yang diakibatkannya. Selain itu para profesional juga dituntut untuk memenuhi ukuran keterampilan rata-rata sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang umum.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan umum yang memberikan pengertian dari malpraktik medik, yakni apabila seorang dokter tidak dapat menyembuhkan pasien sebagai perbuatan malpraktik. Bahkan lebih parah lagi, apabila seorang pasien meninggal dunia, di dalam proses pengobatan di rumah sakit, maka telah terjadi malpraktik medik. Jelas di dalam malpraktik terdapat unsur yang sangat penting adalah adanya kelalaian (negligence), yang seringkali pula disalahartikan.
Jelas untuk dapat menentukan adanya malpraktik medik yang menimbulkan tanggungjawab medik, maka unsur utamanya adalah adanya kelalaian (negligent). Kelalaian dalam arti yang umum adalah adanya kekurang hati-hatian yang dilakukan dalam situasi dan kondisi yang sama. Apabila pasien tidak dapat menentukan kekurang hatian-hatian yang bagaimana yang dilakukan oleh TK, maka tidak ada kasus.
Pengertian kelalaian seperti yang dikutip dari Blacks Law Dictionary, secara panjang
lebar merumuskan apa yang dimaksudkan dengan kelalaian secara umum. Terdapat masih sangat banyak pengertian khusus mengenai kelalaian dikaikan dengan bidangnya masing-masing.
b. Ganti Rugi Akibat Malpraktik Secara Umum
Dalam melaksanakan pengabdiannya, tidak selamanya RS dapat memberikan hasil sebagaimana diharapkan semua pihak. Adakalanya layanan tersebut justru menimbulkan malapetaka; seperti cacat seumur hidup, lumpuh, buta, tuli atau bahkan meninggal dunia. Namun RS tidak perlu merasa khawatir sebab sepanjang yang dilakukannya sudah benar (sesuai standar yang berlaku) maka adverse events yang terjadi hanya bisa dianggap sebagai bagian dari risiko medik atau sebagai sesuatu yang tak mungkin dihindari, sehingga RS tidak seharusnya bertanggunggugat atas kerugian yang dialami pasien, materiel maupun immateriel. Lain halnya apabila adverse events terjadi karena error yang benar-benar dapat dikaitkan dengan malpraktik; baik yang bersifat kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) maupun kealpaan (negligence).
Ganti rugi oleh UU Kesehatan, dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas sesuatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non-fisik. Kerugian fisik adalah kerugian karena hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, yang dalam bahasa hukum disebut kerugian materiel. Sedangkan kerugian non-fisik adalah kerugian yang berkaitan dengan martabat seseorang, yang dalam bahasa hukumnya disebut kerugian immateriel.
Jenis tanggunggugat menurut hukum perdata antara lain:
a. Contractual liability
Tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual.
Dalam kaitannya dengan hubungan terapetik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health care provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil (result). Karena itu dokter hanya bertanggunggugat atas upaya medik yang tidak memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikatagorikan sebagai civil malpractice.
b. Liability in tort
Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan hukum. Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum orang lain saja tetapi juga yang berlawanan dengan kesusilaan yang baik dan berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain.
Konsep liability in tort ini sebetulnya berasal dari Napoleontic Civil Code Art.1382. Konsep ini sejalan dengan pasal 1365 KUH Perdata yang bunyi lengkapnya: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. Dengan adanya tanggung gugat ini maka RS atau dokter dapat digugat membayar ganti rugi atas terjadinya kesalahan yang termasuk katagori tort; baik yang bersifat intensiona atau negligence. Contoh dari tindakan RS atau dokter yang dapat menimbulkan tanggunggugat antara lain membocorkan rahasia kedokteran, eutanasia atau ceroboh dalam melakukan upaya medik sehingga pasien meninggal dunia atau menderita cacat.
c. Strict liability
Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability without fault) mengingat seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa; baik yang bersifat intensional, recklessness ataupun negligence. Tanggung gugat seperti ini biasanya berlaku bagi product sold atau article of commerce, dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya risiko tersebut.
Di negara-negara Common Law, produk darah dikatagorikan sebagai product sold sehingga produsen yang mengolah darah harus bertanggunggugat untuk setiap transfusi darah olahannya yang menularkan virus hepatitis atau HIV.
d. Vicarious liability
Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan medik maka RS (sebagai employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai subordinate (employee). Lain halnya jika tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending physician) sehingga kedudukannya setingkat dengan RS.
Doktrin vicarious liability ini sejalan dengan Psl 1367, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
c. Gugatan Malpraktik Medik
Sebelumnya telah diuraian tentang malpraktik medik dan unsur utama dari pertanggungjawaban medik, perlu adanya penentuan tentang adanya kelalaian. Kemudian kalau pasien dapat menentukan adanya kelalaian, maka untuk dapat mengajukan gugatan jelas harus ada dasar hukumnya, yang dijadikan sebagai dasar gugatan. Hukum Perdata Indonesia, masih tetap memakai Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) sebagai hukum positif.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang gugatan, maka perlu pula digambarkan tentang hubungan hukum yang melahirkan perikatan. Terdapat dua macam perikatan menurut Pasal 1233 KUHPer, yaitu “perikatan yang lahir dari perjanjian” dan “perikatan yang lahir dari undang-undang”.
Kemudian mengenai jenis perikatan yang relevan untuk digambarkan, tidak diatur oleh Undang-undang, namun dikemukakan oleh para pakar ilmu hukum Belanda, diakui sebagai doktrin hukum, tentang dua macam perikatan dilihat dari prestasi yang harus diberikan, yaitu “perikatan ikhtiar” dan “perikatan hasil”.
Hubungan TK dan pasien, pada dasarnya memberikan prestasi berupa ikhtiar, yaitu upaya semaksimal mungkin, hanya beberapa perikatan yang timbul mendasarkan prestasi hasil, sebagai misal bedah kosmetik, tentunya harus mendasarkan kepada hasil yang dijanjikan, lain lagi dalam hal bedah rekonstruksi, maka hasilnya juga berupaya semaksimal mungkin.
Seperti dituliskan di atas, bahwa malpraktik medik mensyaratkan adanya kelalaian/kesalahan, sehingga gugatan juga mensyaratkan adanya kelalaian/kesalahan. Tujuan dari gugatan adalah untuk mendapatkan ganti rugi, sehingga dasar gugatan dapat dilakukan dengan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Jelas untuk menggugat berdasarkan wanprestasi, pertama-tama hanya dapat dilakukan apabila ada perjanjian, kemudian hasilnya harus tertentu. Sedangkan seperti dituliskan di atas, menurut doktrin hukum perikatan, perikatan yang timbul hampir kebanyakan adalah perikatan ikhtiar, yakdi prestasinya berupa “upaya semaksimal mungkin”, bukan “hasil tertentu”.
Perbedaan antara perikatan ikhtiar dan perikatan hasil adalah pada perikatan ikhtiar prestasinya berupa ikhtiar (upaya semaksimal mungkin), sulit untuk ditentukan ukurannya, sedangkan pada periktan hasil, prestasinya berupa hasil tertentu yang dapat diukur.
Akibatnya, pada perjanjian antara TK dan pasien yang jadi dasar dari perikatan ikhtiar, maka prestasinya sulit untuk diukur, kalau pretasinya sulit diukur, maka sulit untuk menggugat TK dengan dasar wanprestasi (ingkar janji), kalau TK telah cukup berikhtiar, maka telah dipenuhi prestasi yang diperjanjikan.
Dengan perkataan lain, meski pun ada perjanjian atau tidak ada perjanjian antara TK dan pasien, maka dasar hukum dari gugatan terhadap TK adalah apa yang dikenal dengan perbuatan melanggar hukum (PMH) yang diatur di dalam pasal 1365 KUHPer. Pasal 1365 KUHPerdt: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salah menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Unsur-unsur dari ketentuan yang ada di dalam pasal 1365 KUHPer, adalah: ada perbuatan melanggar hukum, ada kesalahan, ada kerugian, ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian.
Sedangkan yang dimaksud dengan PMH menurut pasal 1365 KUHPer adalah:
1. adanya perbuatan yang melanggar undang-undang, ketertiban dan kesusilaan
2. adanya perbuatan yang melanggar hak orang lain
3. adanya perbuatan yang tidak memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi.
Kemudian yang dimaksudkan dengan kesalahan (schuld), diartikan adanya unsur kesengajaan. Dengan sengaja merugikan orang lain. Kemudian pasal 1366 KUHPer menentukan: “Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebebkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Ketentuan pasal 1365 KUHPer menyebutkan adanya kesalahan (schuld), sedangkan pasal 1366 KUHPer menentikan adanya kelalaian (nalatigheid). Jadi, apakah perbuatan itu disengaja, atau pun karena kalalaian/kurang hati-hati, asalkan menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ganti rugi.
Dengan perkataan lain:
1. Apabila terjadi kesalahan/kelalaian, namun tidak menimbulkan kerugian, tidak dapat digugat ganti rugi
2. Begitu pula apabila terdapat kerugian, namun tidak terdapat kesalahan/kelalaian, maka tidak dapat digugat ganti rugi
3. Di samping itu, ada kerugian, ada kesalahan/kelalaian, naumn tidak ada hubungan sebab akibat, maka itu pun tidakn dpat digugat ganti rugi
4. Keempat unsur dari PMH harus dipenuhi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan, untuk menggugat TK, pasien harus dapat menentukan kelalaian TK yang mana, kemudian apakah kerugian yang diderita pasien, betul disebebkan oleh kelaian TK. Dengan perkataan lain, apakah kelalaian TK menyebabkan kerugian yang diderita pasien.
d. Tuntutan Malpraktik Medik
Pidana secara harfiah artinya hukuman (straf), Hukum pidana artinya Hukum tentang hukuman. Sistem Hukum Pidana membagi dua macam perbuatan yang dapat dipidana, yaitu pelanggaran dan kejahatan. Suatu perbuatan dapat dituntut dengan pidana (hukuman), apabila memenuhi unsur-unsur yang ditentukan oleh Hukum Pidana.
Kemudian di dalam hukum pidana sebuah asas yang ditetapkan di dalam KUHP adalah sangat penting, yaitu asas “nullum delictum poena sina sanctie”. Artinya tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Jadi menurut asas ini, kalau tidak diatur telah melanggar ketentuan hukum, maka perbuatan itu tidak dapat dihukum, meski pun akibat perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Seharusnya dalam tindakan medik, perbuatan TK yang dapat dipidana, adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian berupa catat badan yang permanen atau kematian. Apabila kerugian itu dapat diperbaiki, dalam arti tidak menimbulkan bekas, maka TK tidak dapat dituntut pidana. Perasaan tidak menyenangkan, penderitaan, tidak sembuh dan banyak lainnya, bukan dasar untuk memidanakan TK. Namun di Indonesia hal ini menjadi kabur, karena itu dijadikan dasar pengaduan pasien. Terutama “tidak sembuh” tidak dapat dijadikan dasar tuntutan, karena prestasi TK adalah berupaya semaksimal mungkin, dan faktor kesembuhan pasien, bukan hanya karena faktor TK. Dasar tuntutan terhadap TK harus jelas, luka berat yang mengakibatkan cacat dan kematian saja yang pantas untuk dihukum, selama masih terjadi pemulihan, maka TK tidak dapat dituntut.

MALPRAKTEK DAN TANGGUNG JAWABNYA
Dalam beberapa tahun belakangan ini yang dirasakan mencemaskan oleh dunia perumahsakitan di Indonesia adalah meningkatnya tuntutan dan gugatan malpraktik (dengan jumlah ganti rugi yang semakin hari semakin spektakuler), utamanya sejak diberlakukannya UU no.8/1999 tentang perlindungan konsumen. Sebelumnya, RS dianggap sebagai lembaga sosial kebal hukum berdasarkan doctrine of charitable immunity, sebab pertimbangannya, menghukum RS membayar gantirugi sama artinya dengan mengurangi assetnya, yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuannya untuk menolong masyarakat banyak.
Perubahan paradigma tersebut terjadi sejak kasus Darling vs Charleston Community Memorial Hospital (1965), yakni kasus mula pertama yang mempersamakan institusi RS sebagai person (subjek hukum) sehingga oleh karenanya dapat dijadikan target gugatan atas kinerjanya yang merugikan pasien. Pertimbangannya antara lain karena banyak RS mulai melupakan fungsi sosialnya serta dikelola sebagaimana layaknya sebuah industri dengan manajemen modern, lengkap dengan manajemen risiko. Dan dengan manajemen risiko tersebut maka sudah seharusnya apabila RS mulai menempatkan gugatan ganti rugi sebagai salah satu bentuk risiko bisnisnya serta memperhitungkannya untuk dipikul sendiri risiko itu ataukah akan dialihkan kepada perusahaan asuransimelalui program asuransi malpraktik.
Situasi krisis yang mencemaskan tersebut jelas tidak menguntungkan bagi pengelolaan dan pengembangan RS dan oleh karenanya perlu diwaspadai. Tetapi yang paling penting bagi setiap pengelola dan pemilik RS adalah memahami lebih dahulu bahwa sebelum gugatan malpraktik dapat dibuktikan maka setiap sengketa yang muncul antara health care receiver dan health care provider baru boleh disebut sebagai konflik akibat adanya ketidaksesuaian logika atas sesuatu masalah; utamanya atas terjadinya adverse event (injury caused by medical management rather than the underlying condition of the patient). Konflik diartikan sebagai ketidaksesuaian paham atas situasi tentang pokok-pokok pikiran tertentu atau karena adanya antagonisme-antagonisme emosional. Maka berbagai konflik yang melanda dunia perumahsakitan kita sekarang ini tidak harus dipandang sebagai hal yang luar biasa sehingga tidak perlu disikapi secara tidak proporsional. Dilihat dari sisi positifnya justru konflik atau sengketa dapat meningkatkan kreatifitas, inovasi, intensitas upaya, kohesi kelompok serta mengurangi ketegangan.
Dunia perumahsakitan juga harus merasa risih dan bersikap jujur karena pada kenyataannya masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam melaksanakan tatakelola klinik yang baik (good clinical governance), disamping belum secara sempurna mampu memenuhi prinsip-prinsip dalam merancang sistem pelayanan kesehatan yang lebih aman (safer health care system) guna mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi terjadinya adverse events.
Konflik itu sendiri sebetulnya hanya akan terjadi kalau ada prakondisi atau predisposing factor, misalnya berupa adverse events (yang pada hakekatnya merupakan kesenjangan antara harapan pasien ketika memilih RS dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya upaya medis). Sedangkan trigger factors-nya antara lain karena adanya perbedaan persepsi, komunikasi ambigius atau gaya individual yang bisa datang dari pihak dokter sendiri (arogan, ketus, enggan memberikan informasi dan sebagainya) atau dari pihak pasien (misalnya chronic complainer atau sikap temperamental). Tarif yang tinggi juga dapat menjadi pemicu munculnya klaim atas pelayanan yang kurang sempurna. Dari pengalaman saya sebagai kosultan di salah satu RS swasta diperoleh temuan bahwa tidak jarang pemicunya justru datang dari penilaian spekulatif yang bersifat negatip atas terjadinya adverse events dari teman sejawat dokter (yang barangkali saja ingin mengambil keuntungan, misalnya agar oleh pasien dianggap lebih hebat atau lebih pandai).
Mengenai perbedaan persepsi, biasanya disebabkan keidakmampuan pihak pasien untuk memahami logika medis bahwa upaya medis merupakan upaya yang penuh uncertainty dan hasilnya pun tidak dapat diperhitungkan secara matematis karena sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar kontrol dokter untuk mengendalikannya; misalnya daya tahan tubuh, mekanisme pertahanan tubuh, jenis dan tingkat virulensi penyakit, stadium penyakit, kualitas obat, respon individual terhadap obat (sebagai sebagai konsekuensi belum ditemukannya obat-obatan farmakogenomik yang sesuai dengan konstitusi genetik tiap-tiap pasien) serta kepatuhan pasien dalam mengikuti prosedur dan nasehat dokter serta perawat. Banyak masyarakat menyangka bahwa upaya medis yang dilakukan dokter merupakan satu-satunya variabel yang dapat mempengaruhi kondisi kesakitan pasien sehingga parameternya, kalau upaya tersebut sudah benar menurut logika mereka tidak seharusnya pasien meninggal dunia, bertambah buruk kondisinya atau malahan muncul problem-problem baru. Pada kenyataannya upaya medis yang terbaik dan termahal sekalipun belum tentu dapat menjamin kesembuhan, demikian pula sebaliknya. Bahkan tidak jarang dokter melakukan kesalahan diagnosis dan dengan sendirinya diikuti kesalahan terapi, tetapi justru pasien dapat sembuh berkat mekanisme pertahanan tubuhnya sendiri.
Oleh sebab itu tidaklah salah jika ada sementara ahli yang menyatakan “medicine is a science of the uncertainty, an art of the probability”.
Pemahaman yang kurang memadai tentang hakekat upaya medis tersebut masih diperparah lagi oleh minimnya pemahaman mengenai hukum; misalnya tentang bentuk perikatan yang terjadi menyusul disepakatinya hubungan terapetik yang konsekuensinya memunculkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Tidak banyak masyarakat yang faham bahwa perikatan yang terjadi antara health care receiver dan health care provider merupakan inspanning-verbintenis (perikatan upaya) sehingga konsekuensi hukumnya, RS tidak dibebani kewajiban untuk mewujudkan hasil (berupa kesembuhan), melainkan hanya dibebani kewajiban melakukan upaya sesuai standar (standard of care); yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis yang mencerminkan telah diterapkannya ilmu, ketrampilan, pertimbangan dan perhatian yang layak sebagaimana yang dilakukan oleh dokter pada umumnya dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula (Hubert Smith). Dengan tingkat kualitas seperti itu diharapkan mampu menyelesaikan problem kesehatan pasien, namun jika pada kenyataannya harapan tersebut tidak terwujud atau bahkan terjadi adverse events atau risiko medis, tidak serta merta dokter atau RS harus dipersalahkan.
Apabila terbukti bersalah maka tanggungjawab hukumnya selalu bersifat individual dan personal sehingga tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Perlu ditambahkan disini bahwa di berbagai negara yang menganut Common Law System pada awalnya memasukkan malpraktik sebagai tortsehingga tidak ada pidana bagi dokter yang melakukan malpraktik melainkan gugatan ganti rugi. Namun kecenderungan internasional akhir-akhir ini mulai ada upaya-upaya walaupun kasusnya masih sangat jarang untuk mempidanakan dokter, utamanya atas kasus malpraktik yang mengakibatkan kematian. Kecenderungan tersebut tentunya dapat menambah keyakinan LSM disini yang selama ini lebih suka membawa kasus malpraktik ke peradilan pidana, apalagi tindakan seperti itu dimungkinkan mengingat adanya Psl 359 KUHP yang merupakan pasal keranjang sampah.
Sedangkan dalam kasus perdata, yang harus membuktikan adalah pihak penggugat (pasien) mengingat “siapa yang mendalilkan bahwa dokter bersalah maka dialah yang membuktikan”. Untuk itu penggugat harus membuktikan adanya keempat unsur D dari malpraktik; yaitu (D)uty, (D)ereliction of duty, (D)amages dan (D)irect causation betweem dereliction of duty and damages. Tentunya yang paling sulit bagi penggugat ialah membuktikan unsur D yang terakhir (Direct causation), namun pembuktian unsur itu beserta 3 unsur lainnya dari malpraktik menjadi tidak diperlukan lagi manakala ditemukan fakta yang mampu berbicara sendiri (misalnya ditemukannya gunting atau pinset di dalam perut pasien) sehingga dapat diberlakukan doktrin Res Ipsa Loquitur (the thing speaks for itself) yang secara otomatis membuktikan adanya malpraktik. Adapun mengenai tanggunggugatnya (civil liability) dapat ditanggung sendiri oleh dokter yang bersangkutan atau dalam kondisi tertentu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan ajaran tanggung-renteng (doctrine of vicarious liability).
Contoh kasus paling gamblang yang menggambarkan kekurangcermatan pihak pasien dalam menuntut dan menggugat adalah kasus dilaporkannya dokter ke polisi disertai pengajuan gugatan ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang ditolong kelahirannya dengan vacuum extractie menderita komplikasi kelumpuhan otot leher. Juga kasus dilaporkannya dokter ke polisi karena terjadinya Steven Johnson syndrome akibat obat (yang seringkali mustahil dapat diramalkan sebelumnya). Betul pada kedua kasus itu ada damage, tetapi persoalannya, adakah unsur dereliction of duty yang secara langsung telah mengakibatkan damage tersebut? Dari penelitian yang dilakukan oleh Institute of Medicine diperoleh gambaran bahwa sekitar 2,9 % sampai 3,7 % dari pasien rawat inap mengalami adverse event, berupa:
- Perpanjangan hospitalisasi
- Cacat saat meninggalkan RS
- Cacat tetap
- Adverse drug event
- Infeksi luka
- Meninggal dunia
Sekitar 70 % dari adverse event tersebut di atas disebabkan oleh error (diagnostic, treatment, preventive and others) yang dapat dicegah sehingga disebut preventable adverse event dan hanya sekitar 27,6 % dari preventable adverse event yang dapat dikatagorikan sebagai malpraktik (negligence atau culpa). Jadi kalau dihitung-hitung sebenarnya sangat kecil sekali bagian dari adverse event yang dapat dihubungkan dengan malpraktik, sedangkan selebihnya merupakan adverse event yang tidak termasuk pelanggaran hukum; baik yang bersifat error of commission (melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan) maupun error of omission (tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan).
Agaknya apa yang diuraikan di atas sejalan dengan teori Perrow (the Perrow’s Normal Accident Theory) yang menyatakan bahwa:
1. Dalam sistem tertentu, kecelakaan tidak dapat dihindari sama sekali.
2. Dalam industri yang komplek dan berteknologi tinggi maka kecelakaan merupakan hal yang normal.
Perlu disadari bahwa pelaksanaan layanan kesehatan di RS merupakan pekerjaan yang sulit, rumit dan komplek serta memerlukan bantuan teknologi (metode, alat dan obat-obatan).
Maka dalam kaitannya dengan upaya keselamatan pasien, The National Patient Safety Foundation menyimpulkan bahwa:
1. Keselamatan pasien (patient safety) diartikan sebagai upaya menghindari dan mencegah adverse event (adverse outcome) yang disebabkan oleh proses layanan serta meningkatkan mutu outcome.
2. Keselamatan pasien tidak hanya tertumpu pada orang (person), peralatan atau departemen saja, tetapi juga interaksi dari berbagai komponen dan sistem.
HUKUM MALPRAKTEK
1. Hukum Di Indonesia Mengenai Malpraktek
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar.
Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice.
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yaitu :
a. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana,yaitu :
1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP). Kecerobohan (reklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent. Atau kealpaan (negligence) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggungjawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada badan yang memberikan sarana pelayananjasa tempatnya bernaung.
b. Civil malpractice
Seorang tenaga jasa akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga jasa yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain :
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan. Pertanggungjawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle ofvicarius liability. Dengan prinsip ini maka badan yang menyediakan sarana jasa dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya selama orang tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative malpractice
Tenaga jasa dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala orang tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kena, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

MALPRAKTEK YANG SERING DILAKUKAN OLEH TIM KESEHATAN
Tuntutan Malpraktek dapat bersifat pelanggaran - pelanggaran berikut :
a. Pelanggaran Etika Profesi
Pelanggaran ini sepenuhnya tanggung jawab organisasi profesi (Majelis Kode etik Keperawatan) sebagaimana tercantum pada pasal 26 dan 27 anggaran dasar PPNI. Sebagaimana halnya dokter, perawatpun merupakan tenaga kesehatan profesional yang menghadapi banyak masalah moral atau etik sepanjang melaksanakan praktik profesional.
b. Sanksi Administrasi
Berdasarkan Keppres No. 56 tahun 1995 dibentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan obyektif kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima kesehatan. Tindakan sebagaimana yang dimaksud tidak mengurangi ketentuan pada Pasal 54 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan , yaitu berbunyi sebagai berikut :
1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplai Tenaga Kesehatan.

c. Pelanggaran Hukum
Pelanggaran dapat bersifat perdata atau pidana. Pelanggaran yang bersifat perdata sebagaimana yang tertera pada UU No. 23 tahun 1992 pada Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
2. Ganti rugi sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesaui dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Hal yang berhubungan dengan ganti rugi dapat bersifat negoisasi atau diselesaikan melalui peradilan, pelanggaran yang bersifat pidana sebagaimana disebutkan dalam UU No. 23 tahun 1992 pada Bab X (Ketentuan Pidana) berupa pidana penjara atau pidana denda, atau sebagaimana pada pasal 61 dan 62 UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi sebagai berikut :
1. Pasal 61 : penentuan pidana dapat di lakukan terhadap pelaku usaha atau pengurusnya
2. Pasal 62 : 1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebgaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18 di pidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, pasal 12, pasal 13, ayat (1) huruf d dan huruf f di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
F. Penanganan Tindakan Malpraktek
1. Cara Hukum Kesehatan Mengatasi Tindakan Malpraktek
Sehubungan gugatan/tuntutan ada di bidang hukum, maka penulisan ini hanya hal-hal yang menyengkut tentang hukum. Seringkali, TK karena rutinitas menjalankan pekerjaan, yang menjadi pekerjaan yang diulang-ulang, menjadi kurang hati-hati. Kekurang hati-hatian ini, dapat berakibat fatal, karena kelalaian kecil saja dapat berakibat besar.
TK dapat menggunakan beberapa ketentuan dari lembaga hukum yang dapat membantu TK dalam mengurangi kemungkinan digugat/dituntut oleh pasien. Kemudian di luar dari itu terdapat beberapa hal yang perlu juga diperhatikan oleh TK.
a. Pemerintah melalui Permenkes no. 585/1989 telah menetapkan aturan tentang persetujuan tindakan medik dan di dalam UU No. 29/2004 tentang praktik kedokteran, juga diatur beberapa ketentuan tentang persetujuan tindakan medik. TK harus menggunakan lembaga informed consent secara maksimal, pasien diberi informasi yang benar dan adekuat, kemudian pasien dalam memberikan persetujuan setelah benar-benar mengerti informasi yang diterima. Pekerjaan ini sangat membosankan, namun ini adalah salah satu cara untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Masalah yang timbul adalah kalau informasi terlalu banyak menyebabkan pasien menjadi takut, ini bukan menjadi masalah TK, untuk menghindari kemungkinan salah paham.
b. Selain informed consent, yang perlu dipenuhi dan menjadi keharusan pula untuk mencatat dengan benar dan rinci seluruh proses tindakan medik di dalam rekam medik dan berkas pemerikasaan penunjang pasien dikumpulkan dengan baik, sehingga pada waktunya apabila ada gugatan/tuntutan dari pasien, maka berkas rekam medik dapat digunakan sebagai alat bukti yang berisi proses tindakan medik.
c. TK harus bekerja sesuai dengan standar profesi medik, bertindak teliti dan hati-hati. Kemudian selalu menambah pengetahuan baik secara formal mau pun informal.
d. Selain itu, perlu menghargai hak-hak pasien yang lainnya selain informasi, persetujuan, dan rekam medik, yaitu rahasia kedokteran dan mendapatkan second opinion.
e. Hal lain yang perlu pula disiapkan oleh TK, adalah mengerti dan mengetahui tentang hukum pada umumnya, khususnya tentang hukum kesehatan. Mempelajari hukum secara formal tentunya paling baik, namun secara informal pun cukup. Buta sama sekali terhadap hukum, sangat tidak bijaksana.
f. Akhirnya, kalau menghadap gugatan/tuntutan hukum, jangan bertindak sendiri, perlu kebijaksaaan dalam memilih siapa yang jadi pembela. Gugatan/tuntutan tidaklah mungkin dihadapi TK tanpa bantuan pihak yang mengerti hukum.
2. Cara Tim Kesehatan Dalam Mengatasi Malpraktek
Vestal, K.W (1995) memberikan pedoman guna mencegah terjadinya malpraktek. Pedoman-pedoman tersebut adalah :
1. Memberikan kasih sayang pada pasien sebagaimana kita mengasihi diri sendiri, melayani pasien dan keluarganya dengan jujur, penuh rasa hormat.
2. Menggunakan pengetahuan keperawatan untuk menetapkan diagnosa yang tepat dan melaksanakan intervensi keperawatan yang diperlukan. Perawat mempunyai kewajiban untuk menyusun pengkajian dan melaksanakan dengan benar.
3. Mengutamakan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu tentang tindakan yang akan di lakukan atau kurang merespon perubahan kondisi pasien, didiskusikan bersama tim kesehatan atau keperawatan, guna memberikan masukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya.
4. Menanyakan saran atau pesan yang diberikan oleh dokter jika perintah tidak jelas, masalah itu dipertanyakan oleh pasien atau pasien menolak tindakan yang meragukan atau tidak tepat sehubungan dengan perubahan pada kondisi kesehatan pasien, menerima perintah dengan jelas dan tertulis.
5. Meningkatkan kemampuan kita secara terus-menerus sehingga pengetahuan atau kemampuan yang dimiliki senantiasa Up-To-Date. Mengikuti perkembangan terbaru yang terjadi di lapangan dan bekerja berdasarkan pedoman yang berlaku.
6. Tidak melakukan tindakan yang belum kita kuasai.
7. Melaksanakan askep berdasarkan model proses keperawatan. Menghindari kekurang hati-hatian dalam memberikan askep.
8. Mencatat rencana keperawatan dan respons pasien selama dalam askep. Menyatakan secara jelas dan lengkap. Mencatat sesegera mungkin fakta yang kita observasi secara jelas.
9. Melakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya. Membiasakan bekerja berdasarkan kebijakan organisasi atau rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku.
10. Pelimpahan tugas secara bijaksana dan menerima atau meminta orang lain menerima tanggungjawab yang tidak dapat kita tangani.

DAFTAR PUSTAKA
Indrawijaya, Adam I. 1999. Organisasi Perilaku. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Ismani dkk. 2002. Etika Profesi Keperawatan. Depok : Mahkota Raya.
Poedjawiyatna. 2003. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta : Rineka Cipta.
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperwatan. Jakarta : EGC.
Samil dkk.1994. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI.
Soeparto dkk. Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan. Surabaya: Komite Etik Rumah Sakit, RSUD Dr. Soetomo
Achadiat, Chrisdiono M.2006. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman. Jakarta: EGC.
Guwandi, 2005, Rahasia Medis, Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Guwandi, 2007, Hukum Medic (Medical Law), Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Diposkan oleh ners profesional di 20:58 0 komentar
KLONING
Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pengertian kloning
2. Menjelaskan Lahir & Berkembangnya Kloning Gen
3.
Menjelaskan Proses Kloning Gen
4. Menjelaskan Kloning Gen Ditinjau Dari Peluang Alam
5. Menjelaskan Kloning Gen Ditinjau Dari Segi Etik Profesi
6. Menjelaskan Kloning Gen Ditinjau Dari Hukum Agama
7. Menjelaskan Kloning Gen Ditinjau Dari Hukum Di Indonesia
8. Menjelaskan Pandangan Etika
9. Menjelaskan Pandangan Medis

PENDAHULUAN
Berabad-abad lamanya mulai zaman prasejarah sampai sekarang ini setiap penemuan baru dari hasil teknologi dan ilmu pengetahuan selalu menghasilkan pertentangan mengenai dampak positif dan negatifnya. Seperti penemuan api, kapak, mesin-mesin, alat komunikasi, termasuk dalam bidang bioteknologi (kloning) selalu ada yang mendukung maupun yang menentang. Tergantung pada kita manusia, apakah segi positifnya yang dikembangkan atau negatifnya. Dalam pengembangannya mana yang lebih dominan, kita semua manusia penghuni planet bumi ini samapi ke anak cucu yang menentukan dan yang merasakannya.
Salah satu contohnya adalah kloning, kloning sampai saat ini juga masih menjadi masalah dimana ada pertentangan antar berbagai kalangan, mulai dari individu, kelompok, politikus, negarawan bahkan kalangan rohaniawan. Masalah utamanya bukan lagi pada teknologinya tetapi pada penerimaan masyarakat terhadap hasil-hasil rekayasa genetika. Apalagi masalaah klonoig manusia yang berhubungan langsung dengan kehidupan di bumi ini. Sekalipun para ilmuwan mengungkapakan bahwa kloning yang dilakukan bertujuan untuk penyembuhan penyakit (terapaeutik) seperti mengembangkan gen yang ada didalam sel untuk mengggantikan jaringan tubuh yang terserang penyakit.

PENGERTIAN
Klon berasal dari kata kl
όόn (yunani), yang artinya tunas.Kloning adalah tindakan menggandakan atau mendapatkan keturunan jasasd hidup tanpa fertilisasi, berasal dari induk yang sama, mempunyai susunan (jumlah dan gen) yang sama dan kemungkinan besar mempunyai fenotib yang sama.
Kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia.
Berdasarkan pengertian tersebut, ada beberapa jenis kloning yang dikenal, antara lain:
1. Kloning DNA rekombinan
Kloning ini merupakan pemindahan sebagian rantai DNA yang diinginkan dari suatu organisme pada satu element replikasi genetik, contohnya penyisipan DNA dalam plasmid bakteri untuk mengklon satu gen.
2. Kloning Reproduktif
Merupakan teknologi yang digunakan untuk menghasilkan hewan yang sama, contohnya Dolly dengan suatu proses yang disebut SCNT (Somatic Cell Nuclear Transfer).
3. Kloning Terapeutik
Merupakan suatu kloning untuk memproduksi embrio manusia sebagai bahan penelitian. Tujuan utama dari proses ini bukan untuk menciptakan manusia baru, tetapi untuk mendapatkan sel batang yang dapat digunakan untuk mempelajari perkembangan manusia dan penyembuhan penyakit.

LAHIR DAN BERKEMBANGNYA KLONING GEN
Sekitar satu abad lalu, Gregor Mendel merumuskan aturan-aturan menerangkan pewarisan sifat-sifat biologis. Sifat-sifat organisme yang dapat diwariskan di atur oleh suatu faktor yang disebut gen, yaitu suatu partikel yang berada di dalam suatu sel, tepatnya di dalam kromosom. Gen menjadi dasar dalam perkembangan penelitian genetika meliputi pemetaan gen, menganalisis posisi gen pada kromosom. Hasil penelitian lebih berkembang baik diketahuinya DNA sebagai material genetik beserta strukturnya, kode-kode genetik, serta proses transkripsi dan translasi dapat dijabarkan. Suatu penelitian rekomendasi atau rekayasa genetika ynag inti prosesnya adalah kloning gen, yaitu suatu prosedur unutk memperoleh replika yang dapat sama dari sel atau organisme tunggal.
Belakangan ini di media masa (televisi, koran, Internet,dll.) memberitakan tentang kloning manusia. Tetapi karena belum ditemukan rujukan dari kitab-kitab hukum terdahulu, para ahli hukum sekarang masih memperdebatkan masalah ini dan belum ditemukan kesepakatan final dalam kasus yang menyeluruh.
Adanya beberapa strategi intervensi genetika ; strategi intervensi genetika yang pertama bersifat terapeutik yang mempunyai tujuan dan maksud menyembuhkan atau mengurangi gejala-gejala. Hal ini merupakan terapi gen, yaitu dimasukannya sebuah gen kedalam tubuh manusia untuk mengurangi suatu kelainan genetik. Jelas hal ini merupakan praktik kedokteran yaitu menyembuhkan orang sakit. Strategi intervensi kedua adalah eugenika (kata yunani : ”terlahir dengan baik”) dengan tujuan memperbaiki organisme dengan cara tertentu.
Ada 3 cara untuk melakukan eugenika (Shannon, T.A. 1987) , yaitu :
1. Eugenia positif. Cara ini menghasilkan perbaikan melalui cara pembiakan selektif, misalnya menghasilkan individu-individu yang sangat intelegen dengan memakai sperma orang yang genius.
2. Eugenika negatif. Cara ini mencegah gan yang buruk atau kurang bermutu masuk kedalam kumpulan gen. Hal ini dapat dilakukan dengan skrining orang tua dan memberitahu mereka tentang segala gen yang buruk yang mungkin dibawanya. Hal ini juga dapat dilakukan dengan amniosentesis
3. Euthenika (euthenics). Cara ini adalah dengan mengubah lingkungannya sehingga individu dengan kekurangan genetik dapat berkembang secara relatif normal (kaca mata, insulin, mesin dialis, dsb.)

PROSES KLONING GEN
Proses kloning gen secara sederhana :
1. Mempersiapkan sel stem.
2. Sel stem diambil inti sel yang mengandung informasi genetic kemudian dipiahkan dari sel.
3. Mempersiapkan sel telur.
4. Inti sel stem diimplantasikan ke sel telur.
5.Sel telur dipicu supaya terjadi pembelahan dam pertumbuhan. Setelah membelah menjadi embrio.
6. Blastosis mulai memisahkan diri dari dan siap diimplantasikan ke rahim.
7. Embrio tumbuh dalam rahim menjadi bayi dengan kode genetik persis sama dengan sel stem donor.
Molekul DNA dan bakteriofog mempunyai sifat-sifat dasar yang ditentukan sebagai sarana kloning. Namun sifat ini tidak berguna tanpa adanya teknik-teknik eksperimen untuk manipulasi molekul DNA di dalam laboratorium. Ketrampilan dasar untuk melakukan kloing secara sederhana adalah :
• Preperasi sampel DNA murni
• Pemotongan DNA murni
• Analisis ukuran fragmen DNA
• Penggolongan molekul DNA
• Memasukan molekul DNA ke dalam sel tuan rumah
• Identifikasi sel yang mengandung molekul DNA rekombinasi

KLONING GEN DITINJAU DARI PELUANG ALAM
Daniel Callahan 1972 (dikutip dari shannon, TA. 1987). Menyebutkan adanya 3 orientasi dasar yang mempengaruhi cara kita memandang peluang-peluang alam.
• Pertama, ada model yang memandang alam sebagai sesuatu yang plastis, dalam arti bisa direka/diolah oleh manusia. Dalam prespektif ini, alam dilihat sebagi hal yang asing dan jauh dari manusia. Alam itu bersifat plastis sejauh dapat dibentuk dam dimanfaatkan dengan cara apapun yang dianggap sesuai oleh manusia. Dengan demikian, alam adalah milik manusia yang dapat dimanfaatkan sesukanya.
• Kedua, alam dapat dihayati sebagai hal yang suci. Pandangan ini dapat dijumpai dalam tradisi keagamaan baik ditimur maupun di barat. Taoisme mengasumsikan kesesuaian individu dengan alam, sehingga bisa menjadi bagian dari keseluruhan kosmis yang ditayangkan oleh alam. Teolog dari abad pertengahan memandang alam sebagai jejak Tuhan. Al-Qur’an diturunkan dengan perintah membaca sebagai firman pertama (Al-Alaq [96]: 1-5) ”bacalah atas nama penciptamu; yang telah menciptakan manusia dari segumpal nutfah; bacalah ! dan tuhanmu sangat pemurah; yang telah mengajarkan penggunaan kalam; mengjarkan hal-hal yang tidak diketahui olehnya” kalau ALLAH Secara langsung tidak dapat kita lihat, yang tampak adalah bekas goresannya disekitar ita ini berupa semua kejadian yang dapat kita amati di alam semesta.
Pandangan ini menciptakan suatu sikap tanggung jawab terhadap alam dan kemampuan untuk melestarikannya. Manusia boleh mengintervensi alam, asal perbuatannya itu mengetahui ukuran dan tidak terlalu banyak.
• Ketiga, merupakan suatu model teologis. Pengertian ini mengasumsikan adanya tujuan dan logika dalam alam. Terdapat suatu dinamisme internal dalam alam yang membawanya kepada tujuan atau maksud tertentu. Setiap campur tangan dalam alam harus menghomati tujuan-tujuan ini, sehingga dengan demikian mencegah akan terjadinya pelanggaran terhadap keutuhan alam. Dengan demikian juga jangkauan terhadap intervensi manusia dalam alam ditentukan oleh dinamisme alam itu sendiri.

KLONING GEN DITINJAU DARI SEGI ETIK PROFESI
Salah satu perdebatan dalam etik profesi adalah menyangkut tanggung jawab para ilmuan, atau lebih umum tanggung jawab para ahli. Gustafon dalam beberapa tahun 1970 (dikutip dari shannon, TA. 1987), mengemukakan beberapa model yang dapat dipakai untuk menangani masalah tanggung jawab profesi ini yaitu :
• Pertama, para ilmuwan berhak untuk melakukan apa saja yang mungkin dilakukan. Pembenaran dari pendapat ini adalah nilai yang inheren pada pengenalan itu sendiri. Hal itu juga dilengkapi dengan pertimbangan bahwa keingintahuan intelektual merupakan suatu nilai khusus disamping naluri yang melekat pada manusia untuk memecahkan persoalan. Dalam model ini, satu-satunya kendala yang membatasi adalah tiadanya kemampuan teknis.
• Kedua, para ilmuwan yang tidak berhak untuk mencampuri alam. Larangan yang tegas ini didasarkan atas keyakinan bahwa alam itu suci atau adanya anggapan bahwa setiap penelitian melangar batas yang ditentukan oleh alam. Namun banyak yang tidak setuju untuk menggunakan prinsip ini secara mutlak, melainkan memahaminya sebagai suatu dorongan yang kuat untuk mempraktekkan tangung jawab yang sudah ada sebelumnya.
• Ketiga, ilmuwan tidak berhak untuk mengubah ciri-cir manusia yang khas. Model tanggung jawab ini berkaitan dengan pandangan tedeologis tentang alam, yang menganggap bahwa intervensi dalam alam dibatasi oleh suatu faktor khusus, yaitu ciri-ciri manusia.

Dengan demikian, berbeda dengan model kedua, karena disini orang dapat mencampuri dengan alam, tetapi yang menjadi batasnya adalah kodrat manusia, dan bukan ketidakmampuan teknis seperti pada model pertama. Akhirnya ilmuwan berhak untuk memelihara pertumbuhan ciri-ciri manusia yang berharga dan menyingkirkan ciri-ciri yang merugikan. Model ini menunjukan tingkat intervensi yang tinggi, baik untuk menguasai maupun mengarahkan perkembangan manusia. Tujuannya adalah kualitas kehidupan.

KLONING GEN DITINJAU DARI HUKUM AGAMA
Prestasi ilmu pengetahuan yang sampai pada penemuan proses kloning,sesungguhnya telah menyingkapkan sebuah hukum alam yang ditetapkan ALLAH SWT pada sel-sel tubuh manusia dan hewan, karena proses kloning telah menyikap fakta bahwa pada sel tubuh manusia dan hewan terdapat potensi menghasilkan keturunan, jika intisel tubuh tersebut ditanamkan pada sel telur perempuan yang telah dihilangkan inti selnya. Jadi sifat inti sel tubuh itu tak ubahnya seperti sel sperma laki-laki yang dapat membuahi sel telur peermpuan. Pada hakikatnya islam sangat menghargai iptek. Oleh sebab itu islam terhadap kloning tersebut tentunya sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat internasional. Didalam islam berbeda antara hukum kloning binatang dan manusia.
Pada hukum kloning pada manusia. Menurut buku fatawa mu’ashiroh karangan Yusuf Qurdhowy bahwa tidak diperbolehkanya kloning terhadap manusia. Atas beberapa pertimbangan diantaranya :
o Pertama : Dengan kloning akan meniadakan keanekaragaman. (varietas).
ALLAH SWT telah menciptakan alam ini dengan kaedah keanekaragaman.
Hal tersebut tertuang dalam Al-Qur’an surat fathir ayat 26 dan 27. Sedangkan dengan kloning akan meniadakan keanekaragaman tersebut. Karena dengan kloning secara tidak langsung menciptakan duplikat dari satu orang. Dan dengan ini akan dapat merusak kehidupan manusia dan tatanan sosial dalam masyarakat, efeknya sebagian telah kita ketahui dan sebagian lainnya kita ketahui di kemudian hari.
o Kedua : Kloning manusia akan menghilang nasab (garis keturunan).
Bagaimana dengan hubungan orang ang mengkloning dan hasil kloningan tersebut, apakah dihukumi sebagai duplikatnya atau bapaknya ataupun kembarannya, dan ini adalah permasalahan yang kompleks. Kita akan kesulitan dalam menentukan nasab hasil kloningan tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan kloning dapat digunakan untuk kejahatan, Siapa yang bisa menjamin jikalau diperbolehkan kloning tidak akan ada satu negara yang mencetak ribuan orang yang digunakan sebagai prajurit militer yang berfungsi menumpas negara lain.
o Ketiga : Dengan kloning akan mengilangkan Sunatullah (nikah).
ALLAH SWT telah menciptakan manusia, tamanan, binatang dengan berpaang-pasangan. Surat Addariyat 46.. Anak-anak produk kloning tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami. Padahal justru cara alami itulah yang telah ditetapkan ALLAH SWT untuk manusia dan dijadikan-Nya sebagai sunnatullah untuk menghasilkan anak-anak dan keturunannya. ALLAH SWT berfirman: ” dan Bawasannya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani apabila dipancarkan.” (QS. An Najm : 45-46).
o Keempat : Memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’. Seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak, dan kewajiban antar bapak dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan ’ashabah dan lain-lain. Disamping itu koning akan mencampur adukkan dam menghilangkan nasab serta menyalahi fitra yang telah diciptakan ALLAH SWT untuk manusia dalam masalah kelahiran anak. Kloning manusia sesungguhnya merupakan perbuatan keji yang akan dapat menjungkir balikkan struktur kehidupan masyarakat.

Berdasarkan dalil-dalil itulah proses kloning manusia diharamkan menurut hukum islam dan tidak boleh dilahsanakan. ALLAH SWT berfirman mengenai perkataan iblis terkutuk, yang mengatakan : ”...dan akan aku (iblis) suruh mereka (mengubah ciptaan ALLAH), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” (QS.An Nisaa’ : 119).

KLONING GEN DITINJAU DARI HUKUM DI INDONESIA
Dalam UU kesehatan No.23 tahun 1992 terdapat ketentuan pasal-pasal tentang kehamilan di luar cara alami sebagai berikut :
Pasal 16
1. Kehamilan diluar alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat.
Penjelasan: Jika secara medis dapat membuktikan bahwa pasangan suami istri yang sah dan benar-benar tidak dapat memperoleh keturunan secara alami, pasangan suami istri tersebut dapat melakukan kehamilan diluar cara alami sebagai upaya terakhir melalui ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
2. Upaya kehamilan diluar alami sebagimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dan dengan ketentuan :
a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan wewenangan untuk itu.
c. Pada sarana kesehatan tertentu.
Penjelasan: Pelaksanaan upaya kehamilan diluar cara alami harus dilakukan sesuai dengan norma hukum, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan perelatan yang telah memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan upaya kehamilan diluar cara alami dan ditunjuk oleh pemerintah.
3. Ketentuan mengenai persyaratan dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam peraturan ini ialah :
• Sperma harus berasal dari suami sah dari pemilik ovum.
Bila sperma berasal dari laki-laki lain, hukumannya sama dengan perzinaan.
• Hasil pembuahan tidak boleh ditanam di dalam rahim wanita yang bukan pemilik ovum yang dibuahi tersebut.
• Yang dimasud dengan keturunan adalah sperma dari suami.

Ketentuan pidana.
Ketentuan pidana untuk pelaku upaya kehamilan diluar cara alami diatur dalam pasal 82 ayat (2) a yang berbunyi : Melakukan upaya kehamilan diluar cara alami yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

PANDANGAN ETIKA
Setelah dilaporkan tentang Dolly, seekor anak domba yang berhasil di klon dari sel domba dewasa. Segera timbul pertanyaan di masyarakat terutama para ahli, apakah nantinya manusia juga akan di klon? Sebab, teknologi ini dapat diterapkan pada semua mamalia termasuk juga manusia. Tetapi dengan demikian munculah masalah etika, yang didasari berbagai pertanyaan seperti apakah yang telah dilakukan dengan hewan ini boleh dilakukan pada manusia? Sejauh manakah manusia dapat dan boleh malangkah ke depan tanpa kehilangan kemanusiaanya?
Para ilmuwan berpendapat dan memiliki keyakinan yang besar akan hal ini dapat membantu pasangan yang infertil yang tidak bisa dibantu dengan metode lain untuk bisa mendapatkan keturunan.
Dilihat dari tujuan kloning reproduktif yaitu penciptaan manusia baru maka kloning manusia dapat dikatakan tidak etis karena tentu saja hal ini melampaui kekuasaan Tuhan.
Dilihat dari tujuan kloning dikatakan etis apabila digunakan untuk tujuan kesehatan atau tujuan klinik. Penelitian yang berlangsung menyangkut diri manusia harus bertujuan untuk menyempurnakan tata cara diagnostic, terapeutik dan pencegahan serta pengetahuan tentang etiologi dan tatogenesis. Dan juga kloning tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi yang dari pengembangannya untuk tujuan ekonomi, militerisme dan tindakan-tindakan kriminal.

PANDANGAN MEDIK
1. Riset klinis harus disesuaikan dengan prinsip moral dan ilmu pengetahuan yang membenarkan riset medis. Selain itu, riset klinis hendaknya didasarkan atas percobaan laboratoris dan eksperimen dengan bintang atau fakta-fakta ilmiah yang sudah pasti.
2. Riset klinis hendaknya secara sah, oleh ahli yang berkompeten dan dibawah pengawasan tenaga medis yang ahli dibidangnya.
3. Setiap proyek riset klinis hendaknya didahului oleh suatu taksiran yang cermat terhadap bahaya-bahaya yang mungkin terjadi didalamnya dan dibandingkan dengan manfaat yang diperkirakan dapat diperoleh oleh orang yang menjadi objek riset atau orang lain.
4. Dokter seharusnya memberikan perhatian khusus dalam menjalankan riset klinis yang mungkin merubah kepribadian orang yang menjadi objek itu akibat obat-obatan atau prosedur percobaan.

DAFTAR PUSTAKA
o Handoko,B.Daeng. 2001. Etik Dan Hukum Di Bidang Kesehatan. Surabaya: Komite Etik RSUD Dr Soetomo.
o Unit Biotik & Humaniora Kesehatan FK Unair, 2008,Kajian Biotik 2005, Surabaya, Airlangga University Press.
o Achadiat M. Crisdiono,2006, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. Jakarta: EGC.
o Dharmawan Surya,2001, Etik dan Hukum di Bidangf Kesehatan. Surabaya: Komite Etik Rumah Sakit RSUD Dr. Soetomo.










INFORMED CONSENT

Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pengertian Informed Consent
2. Menjelaskan Informed Consent dalam praktek sekarang
3. Menjelaskan bentuk Informed Consent
4. Menjelaskan aspek hukum dari Informed Consent
5. Menjelaskan informasi yang berkaitan dengan Informed Consent
6. Menjelaskan permenkes tentang pertindik
7. Menjelaskan situasi khusus yang berkaitan dengan Informed Consent
8. Menjelaskan sangsi hukum

PENDAHULUAN
Sekarang ini adalah era globalisasi dan era informasi. Dengan semakin bertambah cerdasnya masyarakat dunia tak terkecuali Indonesia, menimbulkan keinginan, kebutuhan, dan atau bahkan kewajiban untuk menambah ilmu pengetahuan, untuk mengetahiu segala sesuatu yang baru. Hal ini dikarenakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi setiap saat semakin maju dan terus berkembang sehingga mempercepat hubungan antar negara dan memberikan dampak yang kuat terhadap falsafah dan cara berpikir manusia.
Informasi merupakan keterangan, data, penjelasan tentang suatu hal. Tanpa informasi manusia akan tertinggal. Dan tanpa disadari timbullah rasa ingin tahu lebih banyak tentunya disagela bidang, diantaranya dalam bidang medis dan kesehatan. Katakanlah zaman dahulu pasien berobat hanya pasrah saja mengikuti apa kata dokter (yang notabene selalu benar) mengenai segala sesuatu tentang pengobatannya, namun sekarang semua telah berubah, pikiran manusia semakin maju mengikuti perkembangan yang ada.
Di zaman sekarang ini pasien ingin tahu lebih dahulu apa yang dideritanya, apa nama penyakitnya, apa nama obat yang diberikan, tindakan apa yang dilakukan terhadapnya, apa resikonya, dan apa tidak ada alternatif lain untuk itu ?. Sebelumnya semua itu harus ada penjelasan dari dokter, dan pasien berhak untuk mengetahui apa yang hendak dilakukan dokter terhadapnya. Ia juga bisa menolak apa yang dianjurkan dokter terhadapnya. Dan jika dalam tindakan dokter ternyata hasilnya tidak berhasil, maka dokter harus bertanggung jawab dan memberikan penjelasan untuk itu. Karena semua itu sudah menjadi hak asasi sebagai seorang pasien dan manusia “berhak menentukan pilihan, berhak menentukan apa yang dikehendaki terhadap dirinya dan orang lain tidak berhak mencampuri”. Namun disamping itu pasien berhak pula melepaskan hak atas informasinya (hak waiver), dengan kata lain ia berhak untuk meminta kepada dokter agar tidak diberitahukan penyakit (hasil pemeriksaan) kepadanya.
Jay katz mengemukakan teorinya tentang “the idea of informed consent” yang intinya informed consent pada hakekatnya adalah suatu pemikiran mengenai keputusan tentang pemberian pengobatan kepada seorang pasien harus terjadi secara kolaboratif antara pasien dan dokter.
Latar belakang informed consent secara prinsip adalah bahwa setiap manusia berhak untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya.
Hal ini kemudian di jabarkan menjadi :
1. Pasien harus memahami dan mempunyai informasi yang cukup untuk mengambil keputusan informasi yang cukup untuk mengambil keputusan menganai perawatan terhadap dirinya.
2. Pasien harus memahami persetujuan atas perawatan terhadapnya, baik secara lisan atau tertulis, secara eksplisit maupun implicit.


PENGERTIAN
Consent berasal dari bahasa Latin Consentio yang artinya persetujuan, izin, menyetujui, memberi izin/wewenang kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian Informed Consent dapat diartikan sebagai izin atau pernyataancsetuju dari pasien yang diberikan secara bebas sadar, dan rasional, setelah ia mendapat informasi yang dipahami dari dokter tentang penyakitnya.
Secara etimologis Informed Consent berasal dari kata informed yang artinya sudah diberikan informasi atau sudah dijelaskan atau sudah diuraikan dan kata consent yang artinya persetujuan atau izin. Jadi Informed Consent atau Persetujuan Tindakan Medik adalah persetujuan dari pasien atau keluarganya terhadap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya atau keluarganya setelah mendapat penjelasan yang adekuat dari dokter
Jay katz mengemukakan “the idea of informed consent” yang intinya informed consent pada hakekatnya adalah suatu pemikiran mengenai keputusan tentang pemberian pengobatan kepada seorang pasien harus terjadi secara kolaboratif antara pasien dan dokter.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 55 tahun 1989 yang sudah berlaku sejak tanggal 4 September 1989 ini menterjemahkan informed consent sebagai “persetujuan tindakan medis (PTM)”, lembaga PTM mengatur materi tentang persetujuan pasien dalam tindakan medis. Dan ini sudah berlaku hampir di semua negara.
Sejak berlakunya Permenkes tersebut jika seorang dokter melakukan tindakan medis apapun terhadap pasien maka terlebih dahulu ia harus memberikan informasi atau penjelasan mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan, apa resikonya, apa manfaatnya, ada tidaknya tindakan alternatif lain, apa yang mungkin terjadi jika tindakan tersebut tidak dilakukan. Keterangan ini tentunya harus diberikan secara jelas dan dalam bahasa yang sederhana yang dapat dimengerti oleh pasien dengan memperhitungkan tingkat pendidikan dan intelektualnya. Dan jika pasien sudah mengerti sepenuhnya dan memberikan persetujuan maka barulah dokter melakukan tindakannya. Pasien akan diminta menanda-tangani suatu formulir sebagai tanda persetujuannya. Banyak orang tidak membedakan antara :
1. Persetujuan atau izin yang diberikan secara lisan pada saat dokter dan pasien berdialog dan memperoleh kesepakatan
2. Penanda-tanganan formulir oleh pasien yang sebenarnya merupakan suatu kelanjutan dan pengukuhan dari kesepakatannya yang sudah diperoleh pada waktu dokter memberi penjelasan.

Tindakan medis dikatakan sudah ada Informed Consent dari pasien apabila : Pertama, dokter memberikan informasi yang jelas terlebih dahulu kepada pasien, mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan, apa resikonya, apa manfaatnya, ada tidaknya tindakan alternatif lain, apa yang mungkin terjadi jika tindakan tersebut tidak dilakukan. Kedua, pasien mengerti sepenuhnya apa yang dijelaskan dokter dan memberikan pernyataan setuju secara lisan. Ketiga, setelah ada persetujuan, pasien akan diminta menanda-tangani suatu formulir persetujuan sebagai tanda bukti jika diperlukan kelak. Dan barulah tindakan medis tersebut dapat dilakukan.
Apabila sudah ada Informed Consent dari pasien, tetapi ternyata kemudian dokter melakukan kelalaian (negligance) maka dokter tersebut bisa dituntut, karena pasien hanya memberikan persetujuannya untuk dilakukan tindakan medis tertentu, dimana dokter harus melakukannya berdasarkan standar profesi medis yang berlaku.
Hal ini berarti dokter harus bekerja dengan hati-hati, teliti, dan wajar.
Informed Consent dari pasien dilakukan pada tindakan bedah, tindakan invasif atau tindakan lain yang mengandung resiko tinggi (pemberian radiologi dengan kontras, penyinaran dengan X-ray, kateterisasi jantung, dan sebagainya).
Suatu informasi harus dilakukan oleh dokter itu sendiri dan tidak boleh didelegasikan kepada perawat. Suatu informasi harus deberikan dengan etikat baik (te goeder trouw), secara jujur dan tidak bersifat menakut-nakuti atau memberi tekanan atau pemaksaan. Sesuai dengan KUHP pasal 1321 “suatu persetujuan tidak mempunyai nilai hukum jika diberikan karena kekhilafan, karena diancam dengan kekerasan, atau diperoleh dengan tipuan”.

Dasar dari Informed Consent adalah :
Hubungan dokter-pasien yang berdasarkan atas kepercayaan.
Hak otonom atau menentukan sendiri atas dirinya sendiri.
Adanya hubungan perjanjian antara dokter-pasien

Tujuan dari Informed Consent adalah :
Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien.
Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif

INFORMED CONSENT DALAM PRAKTEKNYA SEKARANG
Informed consent dalam prakteknya bukanlah sebagai suatu keharusan legalistik-formil-administratif belaka, namun merupakan suatu kewajiban dalam arti materiil sebenarnya. Dan seharusnya dilakukan pemberian informasi terlebih dahulu sebelum dilakukan suatu tindakan medis sesuai sebagaimana diisyaratkan di dalam Permenkes. Di Indonesia ada beberapa alasan mendesak untuk segera kita memulainya, antara lain :
Dengan sudah mulai berlakunya Permenkes No. 585/ 89 tentang “Persetujuan Tindakan Medis” maka hai ini sudah merupakan kewajiban hukum bagi para dokter.
Hukum medis di luar negeri sudah berkembang pesat, termasuk juga doktrin Informed Consent. Jika tidak sejak sekarang dimulai maka kita akan semakin sukar untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Teristimewa tentang PTM yang di luar negeri kini mungkin sudah terdapat beberapa ratus judul tulisan, baik dalam bentuk buku ilmiah, maupun artikel di dalam majalah medis dan juga media massa.
Dengan terbukanya kemungkinan pendirian Rumah Sakit untuk PMA dan PMDN, maka akan bisa masuk pula walaupun mungkin untuk jangka waktu tertentu tenaga dokter asing. Maka mulai sekarang para dokter perlu mempersiapkan diri untuk memperkuat kedudukan masing-masing. Untuk itu diperlukan juga pengetahuan tentang Hukum Medis di kebiasaan-kebiasaan yang secara umum berlaku di dalam dunia medis modern.

Dalam prakteknya para dokter diminta mengorbankan atau menyediakan waktu untuk memberikan informasi (penjelasan) kepada pasien tentang tindakan apa yang hendak dilakukan. Secara teoritis yuridis dianggap bahwa kedudukan pasien dan dokter di dalam hubungan terpautiik adalah sederajat, berada dalam kedudukan yang seimbang.
Namun kenyataanya tidaklah demikian, menurut


Faden & Beauchamp
“A fiduciary relationship exists because patients and physicians are unequal in possession of information and power to control the circumstances under which they meet. One party is fit and medically knowledgeable, the other is sick and medically ignorant :”

Dokter punya kedudukan yang kuat, karena :
1. Mempunyai pengetahuan tentang ilmu kedokteran.
2. Seorang dokter tidak bergantung kepada pasien itu.
3. Seorang dokter secara umum berada pada keadaan yang sehat.
4. Seorang dokter tidak berada dibawah tekanan mental.
5. Seorang dokter berada dalam kedudukan yang bebas.

Pasien mempunyai kedudukan yang lebih lemah, karena :
1. Secara umum tidak berpengetahuan ilmu medis.
2. Tidak berdaya, sangat bergantung kepada dokternya.
3. Pasien berada dalam keadaan sakit.
4. Pasien berada dibawat tekanan psikis, cemas, dan ketakutan.
5. Pasien berada dalam keadaan tidak bebas karena penyakitnya.

Sangat jelas tidak adanya keseimbangan di dalam perjanjian terpautik tersebut. Maka oleh hukum dokter dibebankan untuk mengadakan keseimbangan dengan kewajiban memberikan informasi kepada pasiennya. Misalnya sebelum melakukan tindakan operasi, dokter tersebut harus memberikan penjelasan mengenai :

Tindakan apa yang hendak dilakukan
Manfaat dilakukannya operasi tersebut
Resiko-resiko apa yang melekat pada operasi tersebut
Alternatif terapi lain (jika ada)
Apa akibatnya jika operasi itu tidak dilakukan
Dan lain-lain keterangan yang diperlukan.

BENTUK INFORMED CONSENT
Informed Consent dapat berbentuk :
Dengan suatu pernyataan (expressed)
Bisa secara lisan (oral)
Bisa secara tertulis (written)
Dianggap diberikan (implied or tacit consent)
Dalam keadaan biasa (normal condition)
Dalam keadan gawat-darurat (emergency)

Izin pasien yang paling sederhana adalah dalam bentuk lisan. Selanjutnya izin lisan inilah yang kemudian menjadi dasar izin tertulis, yaitu sebagai penegasan dan memudahkan dalam kaitan dengan pembuktian kelak bahwa pasien telah memberi izin. Izin lisan biasannya untuk tindak medis yang rutin misalnya, penyuntikan. Pada hal-hal khusus, misalnya suatu pemeriksaan dalam terhadap seorang wanita, izin lisan ini ,masih perlu diperkuat lagi dengan kehadiran saksi tertentu (misalnya perawat atau bidan). Izin lisan juga di perlukan pada tindakan pembedahan ringan yang tidak memerlukan pembiusan umum. Pada pembedahan besar/mayor dan tindakan-tindakan yang memerlukan pembiusan umum lainnya, diperlukan izin tertulis mengingat pada setiap pembedahan selalu melekat risiko yang kadang-kadang tidak dapat atau tidak mungkin diperhitungkan sebelumnya. Dalam hal seperti inilah izin tertulis diperlukan untuk memudahkan pembuktian kelak dan melindungi dokter dari kemungkinan pengingkaran izin oleh pasien. Sedangkan suatu izin dianggap telah diberikan oleh pasien (implied consent) apabila dilakukan untuk pemeriksaan rutin biasa, misalnya pengkuran tekanan darah, pengambilan contoh darah, dan sebagainya. Bentuk lain dari implied consent adalah tindakan yang merupakan suatu rangkaian persiapan dari pembedahan yang telah mendapat izizn (tertulis) paisen, misalnya pemasangan kateter atau pencukuran brambut sekitar tempat pembedahan.
Keadaan gawat darurat yang merupakan situasi khusus dapat di masukkan dalam kategori implied consent. Dalam keadaan ini factor waktu memegang peranan yang sangat menentukan, sehingga setiap penundaan tindak medis terhadap terhadap pasien akan dapat berakibat serius bahkan sampai fatal. Maka untuk itu hal-hal khusus ini, izin dari pasien tidak lagi menjadi masalah yang penting, justru penundaan operasi yang berakibat serius atau fatal hanya karena menunggu pasien atau keluarganya, dapat menjadi dasar penuntutan terhadap dokter karena tindak kelalaiaan.

ASPEK HUKUM DARI INFORMED CONSENT
Standar Profesi Medik (SPM) dan informed consent merupaskan 2 unsur pokok yang harus di penuhi dalam pelaksanaan profesi kedokteran.
Dari sudut Hukum Pidana, informed consent harus di penuhi dengan adannya pasal 351 KUHP, yaitu tentang penganiayaan. Suatu pembedahan yang dilakukan tanpa izin pasien dapat di sebut sebagai penganiayaan dan merupakan pelanggaran terhadap pasal 351 KUHP. Leeenen memberikan contoh, apabila A menusuk/menyayatkan pisau pada pasien B sehingga timbul luka, maka tindakan tersebut dapat di sebut sebagai penganiayaan. Apabila A adalah seorang dokter, tindakan itu tetap merupakan penganiayaan, kecuali :
1. Pasien itu setuju dengan tindakan terhadap dirinya tersebut.
2. Tindak medis berupa pembedahan yang pada hakekatnya juga menyayat, menusuk dan memotong tubuh pasien berdasarkan sutu indikasi medik dan di tujukan untuk suatu tujuan yang nyata.
3. Tindak medis tersebut dilakukan sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran yang diakui dalam dunia kedokteran.
Ketiga syarat di atas harus di penuhi semuannya (kumulatif) untuk menghilangkan sifat bertentangan dengan hokum karena adanya pasal 351 KUHP. Ketiga syarat tersebut saling melengkapi dan berkaitan, sehingga pasal 351 KUHP dapat di kenakan bila salah satu diantaranya tidak terpenuhi, terlupakan atau terabaikan.
Pasal 89 KUHP juga berkaitan dengan tindak pembedahan yang memerlukan pembiusan karena dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa membuat seseorang dalam keadaan pingsan atau dalam keadaan tidak berdaya adalah termasuk dalam tindak kekerasan. Dari sudut Hukum Perdata dikatakan bahwa tanggung jawab professional sangat erat hubungannya dengan ketentuan mengenai perikatan , yakni menyangkut perjanjian perawatan maupun terapeutik. Dalam hokum perdata ada 2 kategori, yaitu perikatan berdasarkan upaya/usaha yang maksimal ( inspanningsverbintenis) dan perjanjian berdasarkan hasil (resultaatverbintenis). Perjanjian antara dokter dan pasiennya termasuk dalam kategori pertama.
Selanjutnya pasal 1320 KUHP perdata menegaskan bahwa untuk sahnya sutu perjanjian harus di penuhi 4 syarat, yaitu :
1. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang bebas dari paksaan, kekeliruan, salah paham dan penipuan.
2. Kedua belah pihak telah cakap untuk membuat suatu perjanjian.
3. Adanya suatu hal tertentu/nyata yang diperjanjikan.
4. Perjanjian tersebut mengenai suatu sebab yang halal, yang dibenarkan dan tidak di larang oleh peraturan perundang-undangan, serta merupakan suatu sebab yang masuk akal untuk di penuhi oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.

INFORMASI YANG BERKAITAN DENGAN INFORMED CONSENT
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindak medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus di informasikan sebelumnya, namun izin yang harus di berikan oleh pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling penting untuk di ketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindak medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu :
1. Garis besar seluk-beluk panyakit yang di derita dan prosedur perawatan / pengobatan yang akan di berikan / di terapkan.
2. Risiko yang akan di hadapi, misalnya komplkasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternatif metode perawatan / pengobatan
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan di lakukan merupakan suatu percobaan atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan di lakukan.

Dalam suatu pembedahan khususnya, akan selalu ada risiko yang melekat dan risiko ini acapkali sulit diperkirakan timbulnya, sehingga risiko yang timbulnya, sehingga risiko yang demikian tidak dapat dilimpahkan tanggung jawabnya kepada dokter. Demikian pula dengan kemungkinan tujuan pembedahan tidak tercapai yang selslu ada dalam setiap tindak medis, tanggung jawabnya tidak dapat di limpahkan kepada dokter. Namun harus dingat baik-baik bahwa semuanya itu mensyaratkan satu hal , yaitu pemenuhan informed consent dan SPM.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan, apakah harus menjelasakan secara rinci semua risiko yang mungkin timbul dalam pembedahan? Guwandi menyatakan bahwa dokter tidak mungkin menjelaskan semua risiko yang mungkin timbul dalam sutu pembedahan, sehingga hanya unsure-unsur tertentu yang umumnya berjkaitan dengan kasus saja yang perlu dijelaskan .
Unsur risiko itu meliputi :
1. Sifat (nature) dari risiko itu.
2. Tingkat keseriusan (magnitude) dari risiko.
3. Besarnya kemungkinan timbulnya (probability) dari risiko.
4. Kapan atau jangka waktu kemungkinan timbulnya (immimance) risiko, bila ia akan timbul.


INFORMASI
Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai informasi ini adalah :
a. Informasi harus diberikan, baik diminta maupun tidak.
b. Informasi tidak boleh memakai istilah kedokteran karena tidak dimengerti oleh orang awam.
c. Informasi harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi dan situasi pasien.
d. Informasi harus diberikan secara lengkap dan jujur, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan atau kesehatan pasien atau pasien menolak diberi informasi.
e. Informasi dapat diberikan kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat/ paramedic lainnya sebagai saksi dan dengan seijin pasien.
f. Untuk tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif yang lain, informasi harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi. Apabila, dokter yang bersangkutan tersebut tidak ada, maka informasi harus diberikan oleh dokter yang lain dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
g. untuk tindakan yang bukan bedah atau tindakan yang tidak invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh lain atau perawat dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.

PERMENKES TENTANG PERTINDIK disebutkan bahwa :
- Yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien dewasa yang dalam keadaan sadar dan sehat mental.
- Yang dimaksud dengan pasien dewasa ialah yang telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
- Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampunan, persetujuan diberikan kepada wali/ kurator.
- Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orang tua/ wali/ korator.
- Bagi pasien dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua/ wali atau orang tua/ wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang (guardian).

Ada tiga hal di mana persetujuan tidak diperlukan :
1. Dalam hal pasien tidak sadar/ pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun (Pasal 11)
2. Perluasan operasi yang tidak diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien, tanpa diminta persetujuan terlebih dahulu. Informasi dapat diberikan setelah perluasan operasi selesai dilakukan (Pasal 7)
3. Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan medik tidak diperlukan (Pasal)

SITUASI KHUSUS YANG BERKAITAN DENGAN INFORMED CONSENT
A. Keadaan Gawat Darurat (Emergency)
Pada suatu gawat darurat sering kali dijumpai pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar (misalnya karena kecelakaan lalu lintas) dan tidak ada anggota keluarga yang hadir, sedangkan pasien dalam keadaan gawatnya sehingga harus segera di lakukan pembedahan untuk menyelamatkannya. Dalam keadaan seperti ini, setiap penundaan (termasuk penundaan operasi) akan berakibat serius bahkan fatal terhadap pasien, sehingga tidak ada waktu lagi mencari atau menghubungi keluarga pasien (apalagi meminta izin untuk operasi misalnya). Dalam keadaan seperti ini, dokter dapat bertindak melakukan segala langkah yang diperlukan (termasuk operasi) untuk menyelamatkan nyawa pasien, tanpa perlu menunbggua izin dari siapa pun. Apabila dokter menunda operasi hanya karena belum ada izin untuk itu dan kemudian terjadi akibat yang serius atau fatal karena penundaan tersebut, justru dokter dapat dituntut karena kelalaian.
Leenen menjelaskan mengenai suatu fiksi hokum, bahwa seseorang yang berada dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang umumnya akan di setujui oleh seorang yang berada dalam keadaan sadar, pada situasi dan kondisi sakit yang sama. Ameln menamakan ini presumed consent untuk keadaan gawat darurat. Dasar hukumnya adalah pasal 1354 KUHPerdata, yang mengatur tenteng perwalian sukarela atau zaakwaarneming, yaitu “ Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusoi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri” .
Doktrin yang diakui dalam dunia kedokteran tentang keadaan gawat darurat meliputi 4 (empat) hal, yaitu : syok atau renjatan (shock) perdarahan (hemorrhage) patah tulang (fracture) dan kesakitan (pain). Sedangkan rumusan George J. Anas mengenai keadaan gawat adalah sebagai berikut ”…any injury or acute medical condition liable to cause death, disability or serious illness if not immediately attended to “

B. Pembiusan
Sebenarnya sutu tindakan pembiusan atau anesthesia merupakan salah satu langkah / cara untuk mempermudah operasi, yakni dengan mengurangi rasa sakit atau “ menidurkan “ pasien sehingga operator dapat bekerja dengan tenang dan lancer. Masalah timbul karena adanya pasal 89 KUHP. Pasal tersebut menyatakan bahwa membuat seseorang tidak berdaya (ommacht) atau pingsan, dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan. Pertanyaannya, untuk pembedahan yang memerlukan pembiusan umum, apakah diperlukan izin (informed consent) tersendiri dari pasien atau keluarganya ?
Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa izin tersendiri tidak diperlukan lagi mengingattindakan anestesia sudah merupakan suatu rangkaian yang melekat dalam suatu operasi, sama halnya dengan berbagai langkah persiapan operasi lain, seperti pemasangan kateter atau pencukuran rambut di sekitar lokasi operasi. Namun sebagian lainnya berpendapat bahwa izin tersendiri tetap diperlukan untuk pembiusan (khususnya pembiusan umum), meskipun diketahui hal itu dilakukan untuk memungkinkan berlangsungnya suatu pembedahan karena adanya pasal 89 KUHP.

C. Operasi Tambahan (Extended Operation)
Dalam suatu pembedahan kadang-kadang di jumpai patologi lain yang dapat sekaligus dilakukan operasi saat itu juga, namun ada pula keadaan normal yang dianggap oleh dokter berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari (seperti apendiks / usus buntu). Secara hukum operasi tambahan seperti ini tetap harus meminta izin tersendiri, kecuali bila patologi itu akan membahayakan jiwa pasien bila tidak di ambil tindakan segera. Guwandi memberikan contoh pelanggaran ini, misalnya pada suatu seksio sesarea kemudian dokter menganggap berbahaya bila pasien melahirkan lagi, lalu ia melakukan sterilisasi tanpa izin.

D. Blanket Consent
Pada beberapa tempat pelayanan kesehatan, dapat di jumpai adanya formulir pernyataan persetujuan / izin yang mencantumkan “…saya ( baca: pasien ) menyetujui segala tindakan medik yang akan dilakukan dan membebaskan dokter dari segala tuntunan hokum kelak. Benarkah begitu ?
Inilah yang dalam kepustakaan-kepustakaan dikenal sebagai Blanket Consent.
Guwandi menegaskan bahwa seorang dokter (atau rumah sakit) juga tidak dapat (sebelumnya) secara umum membebaskan dirinya dari segala tanggung jawab maupun tuntunan untuk suatu tindak kesalahan atau kelalaian, baik perdata maupun pidana.
Hampir sama dengan itu, ialah formulir persetujan (informed consent) yang ditandatangani begitu saja oleh pasien tanpa membacanya, padahal pasien itu tidak tahu atau tidak paham dengan isi persetujuan (tindak medik) tersebut, atau dokter belum cukup menjelaskan atau malah dokter belum memberikan penjelasan sama sekali kepada pasien. Dalam keadaan ini, izin semacam itu sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum, Karena pasien jelas-jelas belum informed. Maka formulir yang telah ditandatangi itu juga belum membuktikan telah terjadi suatu persetujuan.
Dengan demikian , blanket consent atau pernyataan-pernyataan sejenisnya, tidak dapat membuktikan bahwa telah terjadi persetujuan pasien menerut syarat-syarat yang di tetapkan dalam pasal 1320 KUHPerdata. Penulis bahkan berpendapat, blanket consent itu juga mengandung unsur-unsur penipuan atau paling tidak tergantung maksud untuk melepaskan tanggung jawab terhadap akibat yang mungkin timbul. Sekali lagi, [pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan syarat sahnya suatu perjanjian secara tegas, yaitu “…bebas dari paksaan, kekeliruan, penipuan atau salah paham”.
Jadi harus ditegaskan lagi bahwa pemenuhan atas Standar Profesi Medik (SPM) dan informed consent dalam arti sebenarnya, telah cukup untuk membebaskan dokter dari berbagai tuntunan ataupun gugatan hukum.

SANKSI HUKUM
Tenaga kesehatan dan sarana kesehatan dimana PERTINDIK ini dilaksanakan, bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuannya. Oleh karena itu, penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku dapat berakibat jatuhnya sanksi hukum terhadap mereka yang bersalah.

Sanksi Pidana
Seorang tenaga kesehatan yang menorehkan benda tajam, menusukkan jarum, atau membius pasien tanpa persetujuannya, dapat disamakan dengan melakukan penganiayaan, yang dapat dijerat dengan Pasal 351 KUHP, yang berbunyi :
1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan dengan sengaja.
5. Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dipidana.


Sanksi Perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian bagi pasien, dapat digugat untuk mengganti kerugian yang diderita tersebut berdasarkan Pasal 1365, 1367, 1370 atau Pasal 1371 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.
Gugatan yang ditujukan kepada seorang dokter secara pribadi dapat dilakukan, apabila seorang dokter tersebut melakukan kesalahan ditempat praktek pribadi atau disebuah rumah sakit dimana statusnya adalah sebagai dokter tamu.
Sedangkan gugatan yang ditujukan kepada pimpinan sarana kesehatan dapat dilakukan, apabila kesalahan itu dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerja disitu. Namun demikian, sarana kesehatan yang dirugikan oleh tenaga kesehatan yang bekerja disitu dapat menggugat tenaga kesehatan tersebut.hal ini perlu diketahui agar tenaga kesehatan yang bekerja disitu lebih berhati- hati didalam menjalankan tugasnya.

Sanksi Administratif
Pasal 13 PERMENKES TENTANG PERTINDIK mengatur tentang sanksi administratif yang isinya adalah:
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa persetujuan pasien atau keluarganya, dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan ijin praktek.


DAFTAR PUSTAKA

Suwandi, Johanes.2005. Rahasia Medis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Soeparto, Pitono, Hariadi, R, dkk. Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan. Surabaya: Komite Etik Rumah Sakit, RSUD Dr. Soetomo

Achadiat, Chrisdiono M.2006. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman. Jakarta: EGC.

Guwandi, 2005, Rahasia Medis, Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Guwandi, 2007, Hukum Medic (Medical Law), Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
http://gusti-chabie.blogspot.com/

Tidak ada komentar: